ANAKES

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA

1. Pengertian Kesalahan Berbahasa

Dalam bukunyaSafriandi yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.

Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics. Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa baku. Kodifikasi kaidah bahasa baku dapat kita lihat dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa baku antara lain adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan konjungsi-konjungsi seperti bahwa, karena secara konsisten dan eksplisit.

1. Penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten.
1. Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
2. Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
3. Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca. Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah baca.
4. Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil, membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih, memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak baku kasih tahu.
5. Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing.
6. Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya-tuan, saya-saudara.
7. Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya:

Leksikal baku Leksikal tidak baku

mengapa kenapa

begini gini

berkata bilang

tidak nggak

tetapi tapi

Senin Senen

Rabu Rebo

Kamis Kamis

Jumat Jum’at

Sabtu Saptu

daripada ketimbang

senyampang mumpung

seperti kayak

oleh karena itu makanya

Kesalahan berbahasa tidak sama dengan kekeliruan berbahasa. Keduanya memang merupakan pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang. Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kekeliruan berbahasa tidak terjadi secara sistematis, bukan terjadi karena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan, melainkan karena kegagalan merealisasikan sistem kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.

Kekeliruan pada umumnya disebabkan oleh faktor performansi. Keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau kelupaan menyebabkan kekeliruan dalam melaflakan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata, atau kalimat, dsb. Kekeliruan ini bersifat acak, artinya dapat terjadi pada berbaga tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri oleh siswa bila yang bersangkutan, lebih mawas diri, lebih sadar atau memusatkan perhatian. Siswa sebenarnya telah mengetahui sistem linguistik bahasa yang digunakan, tetapi karena suatu hal dia lupa akan sistem tersebut. Kelupaan itu biasanya tidak lama.

Sebaliknya, kesalahan disebabkan oleh faktor kompetensi, artinya siswa memang belum memahami sistem linguistik bahasa yang digunakannya. Kesalahan biasanya terjadi secara konsisten dan sistematis. Kesalahan itu dapat berlangsung lama apabila tidak diperbaiki. Perbaikan biasanya dilakukan oleh guru, misalnya melalui remedial, latihan, praktik, dsb. Sering dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya. Bila tahap pemahaman siswa tentang sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya ternyata kurang, kesalahan berbahasa tentu sering terjadi. Namun, kesalahan berbahasa akan berkurang apabila tahap pemahaman semakin meningkat. Perhatikan tabel berikut ini!
KATEGORI

Sudut pandang

KESALAHAN

KEKELIRUAN

1. Sumber
2. Sifat
3. Durasi
4. Sistem Linguistik
5. Hasil
6. Perbaikan

KompetensiSistematis

Agak Lama

Belum Dikuasai

Penyimpangan

Dibantu oleh guru: latihan, pengajaran remedial
PerformansiTidak Sistematis

Sementara

Sudah Dikuasai

Penyimpangan

Siswa Sendiri

Pemusatan Perhatian

2. Proses Terjadinya Kesalahan Berbahasa

Terjadinya kesalahan berbahasa di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa terutama belajarar bahasa kedua, merupakan femnomena yang mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk mempelajari kesalahan berbahasa. Dari studi tentang kesalahan berbahasa itu dapat diketahui bahwa proses terjadinya kesalahan berbahasa berhubngan erat dengan proses belajar bahasa. Kesalahan berbahasa merupakan gejala yang intern dengan proses belajar bahasa. Oleh karena itu, untuk memahami proses terjadinya kesalahan berbahasa, terutama di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa, diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep belajar bahasa.

Penguasaan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua diperoleh melalui proses belajar. Sebagian para ahli pengajaran bahasa membedakan antara proses penguasaan bahasa pertama dan penguasaan bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa pertama bersifat ilmiah dan disebut pemerolehan bahasa (language acquisition). Proses penguasaan bahasa perama ini berlangsung tanpa adanya suatu perencanaan terstruktur. Secara langsung anak-anak memperoleh bahasanya melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Setiap ada yang normal secara fisik, psikis, dan sosiologis pasti mengalami proses pemerolehan bahasa pertama. Proses ini berlangsung tanpa disadari oleh anak. Anak juga tidaak menyadari motivasi apa yang mendorongnya berada dalam kondisi pemerolehan bahasa pertama itu.

Selanjutnya, proses penguasaan bahasa kedua terjadi setelah seseoang menguasai bahasa pertama dan disebut belajar bahasa (language learning). Proses belajar bahasa kedua pada umumnya berlangsung secara terstruktur di sekolah melalui perencanaan program kegiatan belajar mengajar yang sengaja disusun untuk keperluan itu. Dalam proses ini, si pembelajar menyadari bahwa dia sedang belajar bahasa. Dia juga menyadari motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa kedua itu.

Perbedaan antara pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pemerolehan bahasa (language learning) berdasarkan ada atau tidaknya kesadaran pembelajar terhadap apa yang dilakukan sebenarnya bukanlah perbedaan yang sangat mendasar dan diskrit. Dalam kenyataannya, baik dalam proses penguasaan bahasa pertama maupun bahasa kedua, si pembelajar menyadari usahanya untuk mempelajari bahasa. Perbedaan tingkat perbedaan ini bersifat relatif saja. Demikian pula perbedaan penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua yang didasarkan pada terstruktur atau tidaknya proses belajar bahasa juga tidak selalu benar. Proses belajar bahasa juga bisa berlangsung secara alamiah. Artinya, si pembelajar belajar langsung bahasa kedua melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.

Proses belajar bahasa bersifat kompleks. Proses ini sangat berkaitan dengan aspek fisik danpsikis pembelajar. Sehubungan dengan aspek psikis, belajar bahasa adalah suatu proses mental yang di dalamnya berisi aktivitas psikologis, sedangkan sehubungan dengan aspek fisik, belajar bahasa berkaitan dengan perkembangan kematangan berbagai orrgan wicara. Proses terjadinya kesalahan berbahasa berkaitan erat baik dengan aspek psikis maupun dengan aspek fisik.

Ada dua aliran psikologis yang besar pengaruhnya terhadap teori belajar bahasa, yaitu psikologi kognitif dan psikologi behaviorisme. Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, jika manusia bersifat aktif dalam mengakumulasi dan menguasai pengetahuan dan mengorganisasikannya sehingga merupakan bagian dari keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam belajar bahasa, manusia telah memiliki kapasitas belajar bahasa yang bersifat innate. Kapasitas itu berada dala struktur psikologis yang bersifat laten dalam otak manusia. Noam Chomsky menyebut kapasitas belajar bahasa itu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD). Apabila seseorang belajar bahasa, kapasitas belajar bahasa dalam struktur dalam struktur psikologis itu akan teraktifkan.

Selanjutnya, untuk memahami proses terjadinya proses kesalahan berbahasa dalam kaitannya dengan belajar bahasa kedua menurut psikologi kognitif dapat diikuti pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh Larry Salinker dalam tulisannya yang berjudul interlanguage. Menurut dia, apabila seseorang belajar bahasa kedua, ia memusatkan perhatiannya terhadap norma bahasa yang dipelajarinya. Selama membuat seperangkat tuturan dalam bahasa kedua yang tidak sama dengan tuturan yang diperkirakan dibuat oleh penutur asli bahasa tersebut untuk menyatakan maksud yang sama dengan apa yang dinyatakan oleh tuturan si pembelajar. Karena dapat diamati bahwa dua perangkat tuturan itu tidak sama dapatlah dibuat suatu konstruk yang untuk teori belajar bahasa kedua. Konstruk itu adalah adanya sistem bahasa yang terpisah yang didasarkan atas output berwujud tuturan yang dihasilkan oleh si pembelajar dalam berusaha menghasilkan tuturan yang sesuai dengan norma bahasa kedua yang dipelarinya. Dengan kata lain apat dikemukakan bahwa selama dalam proses belajar bahasa kedua, si pembelajar menggunakan seperangkat tuturan dalam bahasa kedua yang merupakan sistem bahasa tersendiri. Sistem bahasa pembelajar ini disebut oleh Larry Salinker dengan nama interlanguage (bahasa antara). Istilah lain untuk menyebut interlanguage adalah ideosyncratic dialect (Piet Corder), approximative system (William Nemser). Sebagian dari unsur-unsur interlanguage ini sama dengan unsur bahasa kedua yang dipelajari dan sebagian yang lain tidak sama. Kesalahan berbahasa terjadi pada sistem interlanguage ini, yaitu unsur-unsur atau bentuk-bentuk tuturan pada interlanguage yang tiak sama dengan bentuk-bentuk tuturan pada bahasa kedua yang dipelajari. Secara teoretis, unsur-unsur sistem interlanguage itu terdiri atas pembauan antara unsur-unsur bahasa pertama dan bahasa kedua yang sedang dipelajari.

Menurut para ahli psikologi behaviorisme, proses belajar bahasa adalah proses yang bersifat empiris dalam jalinan hubungan antara stimulus daan respon. Belajar bahasa itu tdak lain adalah belajar menguasai suatu jenis kebiasaan. Penguasaan ini akan dapat dicapai dengan memberikan latihan berulang-ulang berbagai maa pola kaidah bahasa. Oleh karena itu, pengajaran bahasa berdasarkan aliran behaviorisme ini sangat menekannkan pentingnya latihan-latihan secara intensif untuk menguasai bahasa. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid “dipaksa” selama berjam-jam mengahafalkan dialog, laitahan-latihan menguasai pola serta mempelajari semua jenis generalisasi gramatika. Anggapan yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang terkenal, yaitu practice makes perfect.

3. Beberapa Pandangan terhadap Kesalahan Berbahasa

Kesalahan berbahasa adalah suatu peristiwa yang bersifat inheren dalam setiap pemakaian bahasa baik secara lisan maupun tulis. Baik orang dewasa yang telah menguasai bahaasanya, anak-anak, maupun orang asing yang sedang mempelajari suatu bahasa dapat melakukan kesalahan-kesalahan berbahasa pada waktu mereka menggunakan bahasanya. Namun, jenis serta frekuensi kesalahan berbahasa pada anak-anak serta orang asing yang seedang mempelajari suatu bahasa berbeda dengan orang dewasa yang telah menguasai bahasanya. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan penguasaan kaidah-kaidah gramatika (grammatical competence) yang pada gilirannya jga menimbulkan perbedaan realisasi pemakaian bahasa yag dilakukannya (performance). Di samping itu, perbedaan itu juga bersumber dari penguasaan untuk menghasilkan atau menyusun tuturan yang sesuai dengan konteks komunikasi (comunicative competence) .

Salah satu hambatan dalam proses komunikasi adalah kurangnya keterampilan berbahasa. Ujud kurangnya keterampilan berbahasa itu antara lain disebabkan oleh kesalahan-kesalahan berbahasa. Kesalahan-kesalahan berbahasa ini menyebabkan gangguan terhadap peristiwa komunikasi, kecuali dalam hal pemakaian bahasa secara khusus seperti dalam lawak, jenis ilan tertentu, serta dalam puisi. Dalam pemakaian bahasa secara khusus itu, kadang-kadang kesalahan berbahasa sengaja dibuat atau disadari oleh penutur untuk mencapa efek tertentu sepeti lucu, menarik perhatian dan mendorong berpikir lebih intens.

Dalam masyarakat bahasa tertentu, misalnya dalam masyarakat Jawa, kesalahan-kesalahan berbahasa baik kesalahan gramatika maupun kesalahan yang berkenaan dengan konteks pemakaian mempengaruhi pandangan orang lain terhadap status sosial orang yang berbuat kesalahan berbahasa tersebut. Termasuk kesalahan berbahasa yang berkaitan dengan konteks adalah kesalahan memilih ragam bahasa yang berkaitan dengan tingkat tutur yang terdapat dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah unggah ungguh. Kesalahan berbahasa dalam masyarakat Jawa dianggap sebagai noda. Oleh karena itu, dengan sadar setiap pemakai bahasa berusaha untuk memakai bahasa sesuai dengan kaidah gramatika serta ketepatan pemilihan ragam tingkat tutur sesuai dengan konteksnya. Dalam masyarakat Jawa, identifikasi seseorang antara lain dapat dilihat dari pemakaian bahasanya. Hal ini sesuai dengan tinjauan fungsi bahasa dari pandangan Sosiolinguistik.

Dalam dunia pengajaran bahasa perhatian terhadap kesalahan berbahasa baru berkembang selama waktu yang relatif belum lama. Buku-buku pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa Inggris, telah banyak disusun, tetapi hanya sedikit perhatian penulis terhadap kesalahan berbahasa. Walaupun perhatian terhadap kesalaahan berbahasa belum begitu banyak, tetapi pikiran-pikiran tentang kaitan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa dalam waktu yang relatif singkat telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan hubungan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa tersebut sejalan dengan tumbuhnya pandangan baru dalam pengajaran bahasa pada umumnya.

Selama dasawarsa lima puluhan dan enam puluhan, pandangan pendekatan pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa asing, yang berkembang pesat adalah pendekatan audiolingual (audiolingual approach). Pendekatan ini menekankan pentingnya latihan-latihan untuk menguasai bahasa yang dilaksanakan secara intensif. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid dipaksa selama berjam-jam menghafalkan dialog, latihan-latihan menguasai pola serta, mempelajari semua generalisasi gramatika. Anggapan dasar yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang erkenal, yaitu practice makes perfect (latihan praktik membuat sempurna) yang benar-benar diperhatikan oleh penganjur-penganjur pendekatan audiolingual. Makna dari ungkapan tersebut erat dengan pengajaran-pengajaran bahasa menurut pendekatan audiolingual sebagaimana yan dikemukan oleh Robert Lado dalam bukunya yang berjudul Language Teaching. Dikemukakan oleh Robert Lado 17 prinsip pengajaran bahasa. Salah satu prinsip itu adalah pentingnya latihan pola-pola, dan menghafalkan kalimat-kalimat percakapa dasar dalam model dialog-dialog. Dengan cara itu, kaidah-kaidah bahasa dalam berbagai pola akan menjelma menjadi kebiasaan dan kalimat-kalimat dalam berbagai dialog dapat digunakan sebagai model untuk pemakaian bahasa serta serta belajar bahasa lebih lanjut.

Para pengajur pendekatan audiolingual memandang kesalahan berbahasa dengan perspektif yang bersifat puritanistis. Nelson Brooks, misalnya, memandang kesalahan berbahasa sebagai dosa yang harus dihindari dan pegaruhnya harus dibatasi, tetapi kehadirannya tidak dapat dielakkan. Dikemukakannya pula metode untuk menghindari terjadi kesalahan dalam berbahasa adalah dengan melatihkan kepada si pembelajar model-model yang benar dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi kesalahan berbahasa, cara yang prinsipil adalah memperpendek jarak waktu antara respon yang tidak tepat (kesalahan berbahasa tersebut) dengan bentuk yang benar.

Pada akhir dasawarsa enam puluhan dan menginjak dasawarsa tujuh puluhan, dunia pengajaran bahasa megalami perkembangan pesat. Hal ini ditandai oleh timbulnya pandangan-pandangan yang baru terhadap proses penguasaan bahasa yang bersumber dari hasil studi ahli-ahli psikologi kognitif dan gramatika generatif transformasi. Pengajaran bahasa yang bersifat mekanistis dalam pendekatan audiolingual bergeser ke arah pengajaran bahasa yang lebih lebih manusiawi serta kurang mekanistis. Kegiatan berbahasa lebih ditekankan pada pembentukan kemampuan berkomunikasi daripada latihan-latihan pola dan hafalan dialog. Oleh karena itu, si pelajar lebih didorong keberaniannya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya. Sebagai pendukung, perlu diciptakan situasi yang memungkinkan si pelajar bebas dari ketakutan berbuat salah.

Sehubungan dengan perkembangan yang terakkhir itu, pandangan terhadap kesalahan berbahasa juga mengalami perubahan. Kesalahan berbahasa tidak lagi dipandang sebagai dosa, tetapi sebagai hal yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak d mana pun juga. Dalam proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak pasti membuat kesalahan berbahasa, teapi kesalahan tersebut diterima oleh orang tua mereka (orang dewasa di lingkungannya).

Aliran behaviorisme memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang semata-mata harus dihindari dan diusahakan menghilangkan pengaruhnya. Pembelajar bahasa tidak boleh menggunakan kesalahan berbahasa. Apabila terjadi kesalahan berbahasa, kesalahan itu harus secepatnya diperbaiki agar tidak menjadi kebiasaan. Apabila suatu kesalahan berbahasa terlanjur menjadi kebiasaan, perbaikan kesalahan itu akan sangat sulit dilakukan.

Aliran psikologi kognitif memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak di mana pun. Dala proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak membuat kesalahan berbahasa, tetapi kesalahan berbahasa itu diterima oleh orang tua mereka serta orang dewasa di lingkungannya sebagai suatu yang wajara terjadi.

4. Tujuan dan Manfaat Analisis Kesalahan Berbahasa

4.1 Tujuan Analisis Kesalahan

Analisis kesalahan merupakan usaha membahas kebutuhan-kebutuhan praktis guru kelas. Secara tradisional, analisis kesalalahan bertujuan menganalisis kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh pembelajar bahasa kedua. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu guru dalam hal menentukan urutan bahan pengajaran, memutuskan pemberian penekanan, penjelasan dan praktik yang diperlukan, memberikan remidi dan latihan-latihan, dan memilih butir-butir bahasa kedua untuk keperluan tes profisiensi pembelajar (Sudiana, 1990:103).

4.2 Tujuan dan Metode Analisis Kesalahan

Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa jelas memberikan manfaat tertentu karena pemahaman kesalahan itu merupakan umpan balik yang sangat berharga pengevaluasian dan perencanaan penyesuaian materi dan strategi pengajaraan di kelas. Analisis kesalahan berbahasa antara lain bertujuan untuk:

(1) menentukan urutan penyajian butir-butir yang diajarkan dalam kelas dan buku teksmisalnya urutan mudah sukar,

(2) menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan berbagai butir bahan yang diajarkan,

(3) merencanakan latihan dan pengajaran remedial,

(4) memilih butir-butir bagi penngujian kemahiran siswa (Tarigan, 1990: 69).

5. Data Kebahasaan Analisis Kesalahan Berbahasa

Yang menjadi data utama dalam analisis kesalahan berbahasa adalah wacana yang dibuat oleh pembelajar, baik secara lisan maupun tertulis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik mengambil data mempengaruhi hasilnya baik jenis kesalahan yang ditemukan maupun urutan unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian analisis. Oleh karena itu, dalam memilih jenis data untuk diananlisis kita perlu mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan hasil yang akan diperoleh.

Data untuk analis kesalahan berbahasa bisa diambil dari wacana yang diproduksi oleh pembelajar tanpa alat pemancing dan pembelajar tidak tahu bahwa wacana yang dibuat olehnya akan dianalisis. Data jenis ini disebut data spontan (spontaneous data), misalnya percakapan atau pidatoyang direkam atau karangan tertulis(surat, uraian tentang suatu hal, makalah, tesis, dsb.). Jenis kedua adalah data pancingan (elicitated data) yaitu data yang dikumpulkan dari subjek dengan alat pemancing seperti tes, petunjuk mengarang, dan gambar. Data jenis ini dikumpulkan atau dipancing karena sengaja akan dianalisis. Data inibisa bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis alat pemancingnya dan titik perhatian subjek ketika melakukan tugas.

Dari segi alat pemancingnya, ada dua jenis data kesalahan berbahasa, yaitu data tak terstruktur dan data terstruktur. Data tak terstruktur adalah data yang diperoleh dengan cara menyuruh subjek berbicara atau mengarang tanpa petunjuk yang ketat. Dalam data itu, jenis kesalahan atau frekuensi masing-masing unsur kesilapan tidak dikontrol. Kemunculannya dalam data semata-mata karena kebetulan, tidak menurut kehendak pemancing data. Dalam data terstruktur, unsur-unsur bahasa yang menjadi fokus perhatian peneliti direncanakan kemunculannya baik jenis maupun frekuensinya. Misalnya, subjek diminta menjawab pertanyaan “What are this?” dengan berpedoman pada tiga buah gambar rumah. Harapan peneliti, subjek akan memunculkan kata houses. Titik perhatian penelitian adalah plural dalam bahasa Inggris. Bisa pula instrumen itu berbentuk tes penyempurnaan kalimat atau isian seperti “He…to school every day (go)”. Jadi, tingkat kestrukturan data itu berbeda-beda.

Selain itu, data dapat dibedakan berdasarkan besarnya perhatian subje terhadap bentuk (form) (Dulay dkk., 1982). Dalam data spontan, subjek tidak begitu memperhatikan bentuk wacana. Pusat perhatian subjek terletak pada isi dan pesan yang disampaikan.Demikian pula data tak terstruktur yang diambil dengan alat pemancing walaupun mungkin tingkat perhatian subjek terhadap bentuk sedikit lebih banyak daripada dalam data spontan. Data seperti ini diambil dengan tugas komunikasi alami (natural communication task). Dalam data yang diperoleh dengan alat pemancing yang disertai kontrol ketat terhadap unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian peneliti. Alat pemancing bisa berupa terjemahan, atau isian dan penyempurnaan kalimat. Alat pemancing itu mendorong subjek cenderung memberikan perhatian yang banyak terhadap bentuk bahasa. Data seperti ini dikumpulkan dengan tugas manipulasi linguistik (linguistik manipulation task). Jenis tugas yang dikerjakan oleh subjek dalam pengumpulan data ini mempengaruhi jenis dan frekuensi kesilapan. Data yang dikumpulkan secara bebas (data spontan atau data tak terstruktur) memberi kesempatab banyak kepada subjek untuk menghindari kesalahan. Subjek dapat mengatakan dengan cara lain bila ditemukan keraguan terhadap suatu bentuk sehingga frekuensi kesalahan bisa berkurang. Sebaliknya, data yang dikumpulkan dengan alat pemancing, terlebih-lebih yang ketat kontrolnya, subjek tidak bisa lagi menghindari bentuk yang meragukan. Oleh karena itu, subjek sering melakukan kesalahan.

6. Data dan Metode Anakes

Pit Corder mengatakan bahwa anakes pada dasarnya merupakan cabang linguistik komparatif. Hal ini didasarkan pada data dan metode anakes. Tugas anakes adalah menjelaskan serta mendeskripsikan sistem lingistik bahasa siswa dan membandingkannya dengan sistem linguistik B2 yang dipelajarinya.

Penyimpangan dalam penggunaan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa, B2 atau bahasa asing disebabkan oleh kesalahandan kekeliruan. Kekeliruan bersifat sementara, tidak konsisten, dan perbaikannya dapat dilakukan oleh siswa sendiri. Kesalahan bersifat agak permanen, sistematis, dan perbaikannya memerlukan bantuan guru. Kesalahan itu sendiri terbagi atas kesalahan yang tidak jelas terlihat dan kesalahan yang jelas terlihat. Kedua jenis kesalahan ini tidak semata-mata melukiskan atau menandakan siswa benar atau salah, tetapi juga menyatakan penggunaan sistem bahasa yang salah atau benar.

Kekeliruan kurang tepat dijadikan sebagai sumber data anakes karena sifatnya yang tidak konsisten dan terjadinya hanya sementara. Oleh karena itu, bila siswa lebih sadar dan mawas diri, kekeliruan berbahasa tersebut dapat diperbaiki oleh siswa yang bersangkutan. Sumber data Anakes yang paling cocok adalah kesalahan berbahasa baik kesalahan yang dapat diamati dengan jelas maupun tidak. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kekeliruan tidak fungsional bagi pengajaran bahasa.

Penafsiran secara tepat ujaran siswa merupakan aspek yang paling rawan dalam penerimaan linguistik siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merekonstruksi ajaran bahasa secara tepat, menjodohkan ujaran yang salah dengan pandangannya dalam bahasa ibu siswa. Bila hal itu dilakukan dengan meminta siswa mengutarakan maksudnya dengan bahasa ibu, cara ini disebut cara rekonstruksi otoritatif. Apabila karena sesuatu siswa tidak dapat berkonsultasi dan peneliti hanya menyandarkan pemahamannya kepada maksud atau sistem linguistik siswa, cara ini disebut rekonstruksi akal sehat.

Bahan-bahan yang terkumpul melalui kedua cara itu diolah kembali. Hasil pengolahan itu menghasilkan deskripsi linguistik siswa. Kemudian, deskripsi linguistik itu dilengkapi dengan penjelasan yan bersifat psikologis, misalnya menjelaskan bagaimana startegi belajar yang digunakan oleh siswa, bagaimana proses belajar bahasa secara secara umum. Hasil rekonstruksi linguistik yang digunakan oleh siswa dapat dibandingkan denga sistem linguistik bahasa sasaran atau bahasa yan dipelajari oleh siswa.

7. Prosedur Analisis Kesalahan Berbahasa

Prosedur analisis kesalahan berbahasa terdiri atas empat langkah, yaitu identifikasi, deskripsi, penjelasan, dan kuantifikasi. Tiga langkah pertama saling berkaitan dan langlah terakhir bersifat statistik.

Identifikasi Kesalahan. Dalam mengidentifikasi kesalahan berbahasa yang dibuat oleh pembelajar, tidak selalu apa yang terbaca secara ekspilisit (baik melalui tulisan maupun hasil transkripsi wacana lisan)menunjukkan kesalalahan. Ada bentuk dalam bahasa antara pembelajaran yang sempurna, dalam arti sesuai dengan aturan dalam bahasa sasaran, tetapi ternyata bentuk tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Misalnya, seorang pembelajar mengatakan “My uncle had beautiful houses”. Bentuk ini sempurna, betul, tidak ada penyimpangan ejaan atau gramatika. Namun, ketikan lihat konteks pembicaraan, yang sebenarnya dimaksudkan adalah “Paman saya mempunyai sebuah rumah yang bagus”. Dia tidak bermaksud mengatakan bahwa pamannya mempunyai banyak rumah. Boleh jadi dia tidak ingat bentuk-bentuk jamak dan tunggal untuk kata yang berarti rumah. Pikirannya kacau pla dengan adanya penjamakan yang tidak teratur seperti houses dan children. Dalam keraguan ini, dia memilih salah satu bentuk dan kebetulan benar secara gramatikal walaupun secara semantik tidak.

Jadi, pada tahap identifikasi kesalahan, yang penting adalah melakukan interpretasi terhadap yang dimaksud oleh pembelajar. Interpretasi itu dapat dilakukan dengan melihat konteks munculnya wacana itu atau dengan melakukan dialog dengan pembelajar. Konteks itu dapat pula dilihat secara kecil yang meliputi sebagian dari kalimat-kalimat yang mendahului atau mengikuti kalimat atau frasa yang sedang dianalisis itu, atau dengan melihat isi keseluruhan wacana itu. Bisa jadi dalam kasus pembelajar yang belum menguasai suatu struktur dengan sempurna itu menguji hipotesisnya (tentang bentuk yang betul). Dari sekian ujiannya itu, satu bentuk benar dan bentuk-bentuk yang lain salah.

Deskripsi Kesalahan. Kegiatan utama dalam melaukan deskripsi kesalahan adalah membandingkan wacana pembelajar dengan rekonstruksi yang sahih. Pada tahap ini, langkah yang diikuti mirip dengan analisis kontarstif. Dari perbandingan kedua bentuk itu (bentuk dari bahasa anatara pembelajar dan bentuk yang sempurna dalam bahasa sasaran yang dimaksud pembelajar dapat ditemukan pola-pola kesilapan.

Tujuan utama langkah ini adalah memberikan keterangna tentang kesilapan itu s ecara linguistik. Oleh karena itu, dalam membuat perbandingan dan deskripsi, perlulah diterapkan suatu model tata bahasa tertentu yang dipakai membuat deskripsi itu, misalnya Tata Bahasa Struktural atau Tata Bahasa Transformasi Generatif. Adapun pola-pola kesalahan itu dapat diklasifikasikan menurut tataran dan jenis perubahan dari bentuk dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tataran bahasa bisa meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Penjelasan Kesalahan. Tahap deskripsi kesalahan menekankan proses kesalahan dari segi linguistik, se dangkan tahap penjelasan memeberikan deskripsi tentang mengapa kesilapan itu terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Dengan kata lain, pada tahap ini kita mencari sumber kesalahan itu dan proses terjadinya kesalahan dari sumbernya sampai dengan kemunculannya dalam bahasa sumber.

Kuantifikasi Kesalahan. Kuantifikasi kesalahan dilakukan dengan menghitung kemunculan masing-masing kesalahan berbahasa dan kemudian bisa pula dihitung persentase kesalahan berbahasa itu. Langkah terakhir ini tidak wajib dikerjakan, tetapi diperlukan dalam menarik kesimpulan dalam melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara frekuensi jenis kesalahan dalam satu kasus (sampel) atau membandingkan dengan sampel lain. Oleh karena itu, langkah ini berkaitan erat dengan langkah deskripsi kesalahan.

Ada pakar pengajaran bahasa mengemukan bahwa Anakes mempunyai langkah-langkah yang meliputi:

(1) pengumpulan data,

(2) pengidentifikasian kesalahan,

(3) penjelasan kesalahan,

(4) pengklasifikasian kesalahan,

(5) pengevaluasian kesalahan.

8. Jenis Kesalahan Berbahasa

Berdasarkan komponen bahasa, kesalahan berbahasa dikomponenkan menjadi:

(a) kesalahan pada tataran fonologi,

(b) kesalahan pada tataran morfologi,

(c) kesalahan pada tataran sintaksis,

(d) kesalahan pada tataran semantik,

(e) kesalahan pada tataran leksikal,

(f) kesalahan pada tataran wacana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESENSI,PROSES, DAN WILAYAH ADMINISTRSI PENDIDIKAN

PEMBELAJARAN DENGAN EKSPLORASI, ELABORASI, DAN KONFIRMASI