analisis stilistika novel, cerpen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Stilistika
Berabagai pengertian stilistika telah dirumuskan oleh ahli sastra dan linguistic. Pengertian stilistika secara sederhana dan luas diurai di bawah ini.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya bahasa (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk suatu penyelidikan stilistika”, Yunus merumuskan stilistika (a) dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Dalam beberapa kamus umum dan istilah pengertian stilistika itu sama atau hampir bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:895), stilistika, ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Dewan (1996:1305), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Stilistik:
1). Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara berkesan dalam penulisan.
2). Berkaitan dengan kata stail atau gaya gaya, terutama gaya bahasa penulisan.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990:79) menulis stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan dkk (1994:194) menuliskan stilistika ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995:277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistic dan sastra.
Dalam Kamus Linguistic, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika.
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistic dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistic pada penelitian gaya bahasa.
Dalam The Cambridge Encyclopedia of language, Crystal (1989:431) berpengertian bahwa stylistics the study of systematic variation in language use: in style characteristic individual or group. Also Stylolinguistics.
Dalam Logman Dictionary of Applied Linguistics, Richard, John and Platt (1985:278) berpengertian bahwa stylistics, in the study of that variation in language style, indich is dependent of situation in aqich the the language is used and also on the effect the writers or speakers whishes to creation the reader or hearted. Although sometime include invenfigations of spoken language; of usually refers to the study of inviter language, include literary texts. Stylistics is concerned with the choices that are available to writers and reasons why particles form and expressions are used rather than other.
Dalam The Linguistics Encyclopedia. Kristen Malmkjaeer (1991:439) menuliskan bahwa stylistics is the study of style in spoken and written texts. By the style is meant a consisistein occurrence in the texts of certain items and structural, or types of item and structures, among those of fared by language whole.
Dalam A Hand Back of English Language Teaching; Term and Practice. Brian Seaton (1982:162) berpengertian bahwa stylistics, the study of literady discourse from the point of view of linguistics.
Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistic. Stilistka mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsure dan kaidah yang terdeapat bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, cirri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literature, singkatnua stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Dalam Kosa Semiotika, Budiman menuliskan bahwa dilihat dari sudut pandang tertentu, stilistika merupakan subsidiplin linguistic yang mengarah perhatian terhadao teks-teks sastra. Stilistk menerapkan metode-metode structural terhadap teks-teks sastra. Di samping itu dilihat dari perspektif lain, stilistik dapat dipahami sebagai suatu disiplin otonom yang mencoba menerapkan secara efektif metode-metode baik linguistic maupun ilmu sastra (1999:111).
Dalam Perbincangan Gaya Bahasa Sastra, sastrawan Negara Keris Mas, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1988:8) berpengertian bahwa stilistika tidak lain dari pada kajian stail, yang mengkaji segala kemungkinan gaya kesusastraan untuk menilai dan mendapatkan kefahaman benar mengenai sebuah teks kesusastraan.
Dalam Stylistics, Harmondworth Penguin Book Tunner (1977:7) merumuskan bahwa stilistika adalah bagian dari linguistic yang memusatkan perhatiaannya pada variasi penggunaan bahasa terutama bahasa dalam kesusastraan.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa :
1) Stilistika adalah ilmu interdisipliner linguistic dengan sastra
2) Stilistika adalah ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra
3) Stilistika adalah ilmu gaya bahasa yang digunakan dalam wacana sastra
4) Stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistic
Sebagaimana ilmu interdisipliner stilistika dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Disiplin Linguistic Studi Sastra
- -
- Stilistika -
- -
- -
Subjek Bahasa Sastra
Diadaptasi dari Widdowson (1985:4)
B. Sejarah Stilistika
Dewasa ini, stilistika telah menjadi sebuah cabang ilmu, yang berasal dari interdisipliner linguistic dan sastra. Sebelumnya, stilistika belum dikaji secara ilmiah. Dengan demikian sesungguhnya sudah sejak lama ditelaah. Di bawah ini diuraikan sejarah stilistika di Barat dan di Indonesia
Sejak zaman Plato (427-317 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) sesungguhnya telah ada kajian lingusistik tentang proses proaktif dalam kesusastraan. Zaman Plato dan Aristoteles mungkin terlalu lebih jauh dari zaman kita.
Pada 1916 telah terbit sebuah kata hasil kerjasama sastrawan dan bahasa berakhir Formolisme Rusia judul buku itu, The Study in Theory of Puitics Language. Pada 1923 Roman Jakobsan menulis tentang puisi Ceko yang menerapkan criteria semantic modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi.
Pada 1957, Chomsky membuka pandangan baru linguistic dalam penerbitan bukunya Syntactic Structures. Kesusastraan merasakan dampak pandangan baru itu.
Pada awalnya, sastrawan dan kritikus sastra memungsukan manfaat kajian linguistic terhadap karya sastra. Berbagai anggapan pengkajian demikian akan merusak keindahan seni karya sastra itu. Semakin lama semakin disadari bahwa pendekatan linguistic merupakan salah satu pendekatan yang dapat ditempuh untuk menemukan makna karya sastra. Analisis stilistika berupaya mengganti subyektif dan impressionisme yang digunakan kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
Pada 1973, terbit Stylistics, G. tunner harmsondworth, Penguin Books. Pada 1980, terbit buku Linguistic; for Students of Literature A Stylistic Introduction of the Study of Literature Pergamo fustitut of English, Oxford of Michael Cumming and Robert Simon pada 1985, terbit Stylistics and Teaching of Literature.
Di Malaysia, stilistika juga mengalami perkembangan. Pada 1966, Yunus telah banyak menulis majalah stilistika. Ia termasuk pakar stilistika, di samping Mohammmad Yusof Hasan dan Shahran Ahmad, makalah Yunus telah dibukukan dengan judul Dari Kata ke Ideologi: Fajar Bakti, Petalung Jaya 1985.
Pada 1979 Mangantar Simanjuntak juga mulai membahas stilistika. Makalahnya berjudul Aplikasi Linguistik Dalam Pengkajian dan Penulisan Karya Sastra. Ia menganalisis teks sastra berdasarkan teori linguistic Transformatif Generatif. pada saat yang sama mana Si Kana (Keris Emas), menulis makalah Kaktus-Kaktus Kemasan Safe Pengandaan Stilistika.
Pada 1980, persatuan Linguistik Malaysia mengadakan seminar bahasa dan sastra. Pada 1982 makalahnya dibukukan dengan judul Stilistika Simposium Keindahan Bahasa yang disunting oleh Prof. Farid Onn. Penyumbang makalah adalah Prof. Farid Onn, Dr. Nik Safiah Karim, Awang Sariyah, Dr. Mangantar Simanjuntak, Dr. Dahnil Adnani, Abdul Rahman Napiah, Hashim Awang, Prof. Kamal Hasan, dan Lutfi Abas. (Abas, 1990:25).
Pada 1985, jurusan Linguistik, jabatan pengkajian Melayu, Universiti, Melayu telah mengadakan satu langkah yang dinamakan Bengkel Stilistik. Dalam bengkel ini, beberapa makalah membahas aspek stilistika atau gaya bahasa. Makalah-makalah telah diterbitkan dengan judul Stilistik: Pendekatan dan Penerapan.
Pada 1989, Yunus menerbitkan bukunya berjudul Stilistik: Satu Pengantar Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian, Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur. Di dalamnya dibahas tentang :
1) Berbagai pemahamana tentang gaya bahasa
2) Gaya sebagai Mekanisme Stilistika dan sebagai tanda
Buku ini merupakan hasil pergelutan selama 30 tahun semenjak ia berkenalan dengan istilah stilistik, sejak itu ia selalu berdialog dengan persoalan stilistika.
Di Indonesia stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada 1956, Slamat Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar Pemandangan tentang Poesi juga biasa di sebut Puitika. Pandangan Puitika tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan filsafat. Dengan demikian peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa. Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia. Selamat Mulyani mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa (1956: 4).
Istilah stilistika kemuian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa yang menyebut gaya bahasa apa yang disebut Stiijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Inggris, dan Perancis, Stil dalam bahasa jerman.
Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika bercerita tentang stil seseorang pengarang yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan bahasa, melainkan juga gayanya becerita. Seorang Stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain, atau begaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritukus sastra menggunakan pendekatan intrinsic dan ekstrinsik, bahkan ada yang menggunakan beberpa pendekatan sekaligus. Semua itu ada hokum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyempaiannnya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya.
Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistic atau ilmu bahasa terhadap studi sastra. Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan kritikus sastra. (Sudjiman, 1993:VII).
Pada 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan bahasa suatu karyasastra melalui aspek bahasa misalnya peribahasa, ungkapan, gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia.
Di Universitas Gajah Mada, penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan sekarang ini, misalnya Budi S telah membuat skripsi tentang Bahasa Danarto dalam Godiob: Kajian Stilistika Cerpen-Cerpen Danarto, 1990. Ia memberikan penekanan analisis terhadap kosa kata, majas (bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi bahasa dan humordari mantra (Puleh, 1994:X).
Pada 1993, Lukman Hakim membahas stilistika judul makalahnya Tinjauan Stilistika Terhadap “Robohnya Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan 1). Struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita. 2). Pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas (Depdikbud, 1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4).
BAB II
STILISTIKA NOVEL
A. Pengertian Stilistika Novel
Stilistika novel adalah kajian penggunaan bahasa dalam novel. Di dalamnya dibahas bagaimana penggunaan kalimat dalam novel, oleh novelis bagaimana hubungan antar kalimat dalam novel dan antar paragraph dalam novel, bagaimana gambaran budaya dan sisial/masyarakat dalam novel, bagaimana percakapan atau dialog dalam novel.
B. Komponen Stil Novel
Dalam sub bab ini diuraikan secara khusus komponen stil novel ini meliputi: a). unsur leksikal; b). unsur gramatikal; c). unsur retoroka; d). unsur kohesi; dan e). unsur percakapan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu sengaja dipilih dalam novel oleh novelis. Disi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam novel Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bisa jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpangan namun memiliki efek memperjelas makna. Tentang kata-kata perhatikan kembali bab 3 komponen stil sastra.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal maknanya sama dengan struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kaklimat ini akan dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Novelis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu. Semua dilakukan demi efek estetis disamping menekankan pesan tertentu. Penekanan pada hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau foregraunding.
Berbagai analisis novel dapat dilaksanakan. Unsur kalimat itu berupa (1). Kompleksitas kalimat; (2). Jenis kalimat; (3). Jenis klausa dan frosa.
Semua kalimat ini untuk memperjelas makna atau penekanan terhadap makna tertentu.
C. SINOPSIS NOVEL “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”
Goresan Kata Pembuka "Bercermin pada sketsa hari-hari Abu Aufa, menghadiahi kita percik-percik cinta yang memantik fajar harapan. Sebuah pemotretan manis dari seorang musafir kehidupan, bingkisan buat jiwa yang setia meniti jalan cinta-Nya.
Begitu jauh jarak yang terbentang di antar kita. Jarak yang selalu melahirkan kerinduan dalam riak anak sungai di pelupuk mata. Sesungguhnya, tak ingin jasad ini terbang menjauhimu. Ingin rasanya aku selalu mendekap tubuh yang mulai sepuh lalu bermanja di pangkuanmu. Melepaskan rindu dalam belay kasih saying dan mendengar indahnya ceritamu, setiap detik dalam rahim, gendongan pelukan, bagai masa kecilkua dulu. Kini air mataku berderai, karena selalu rindu dengan belay kasih sayangmu. Tapi akua tahu, engkau lebih merindukan kehadiran anakmu.
Itulah curahan hati tokoh dalam cerita, ketika ingin meninggalkan ibunya guna menuntut ilmu ke negeri Jepang. Dia berjanji akan pulang, bukan membawa kemewahan, tetapi membawa pulang serumpun ilmu pengetahuan dan curahan kasih saying sebagai mana curahan kasih saying seoran ibu kepada anaknya yang tak pernah habih dan berhenti.
Di dalam novel penulis juga menggambarkan bagaimana seharusnya menghadapi kenyataan hidup. Bagaimana kita mengingat kematian yang memang semestinya tak perlu menjadi sesuatu yang ditakuti, karena niscaya ia akan dating menghampiri pada waktunya nanti. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah mempersiapkan diri ini hingga kelak kematian itu menjadi indah.
Memang dunia ini diciptakan indah dalam pandangan mata. Dihiasi taman-taman bunga yang indah, anak-anak sebagai penghibur diri, istri yang cantik, suami yang baik, makanan yang beraneka ragam, harta, tahta, dan sebagainya. Namun semua itu pada akhirnya juga kita tinggalkan. Tak ada yang dibawa kea lam kubur kecuali hanya kain kafan.
Itulah sebagian kecil gambaran kematian yang berusaha dijelaskan pengarang kepada halayak pembaca. Kematian memang akrab dengan kita. Aroma kematian serasa ada disetiap hembusan nafas kita.
Pernikahan tidak lupa juga disorot penulis dalam nivel ini. Penulis berusaha menjelaskan bahwa setiap manusia sudah disediakan oleh Allah jodohnya masing-masing. Dan, jodoh tersebut bukan lah dating sendiri, akan tetapi manusia itu sendiri harus berusaha mencarinya. Pernikahan antara dua insan yang berbeda keyakinan juga dijelaskan, karena hal-hal tersebut tak akan melahirkan kebahagian, apalagi ketenteraman jiwa, karena hal tersebut adalah zina.
Sebagian kejadian-kejadian yang memberi kita ilmu pengetahuan tentang hal-hal di sekitar kita, sebagian besar bukan pengalan langsung tokoh dalam cerita, akan tetapi merupakan kejadian-kejadian yang dia liahat disekitarnya. Misalnya saja ketika tokoh berkunjung kesebuah panti jompo. Disan dia bertemu seorang wanita yang sudah lanjut usia. Wanita tersebut terlihat murung, setelah ia betanya kenapa wanita itu murung, maka berceritalah wanita tersebut. Wanita itu memiliki seorang anak laki-laki yang amat ai sayangi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya tersebut. Akan tetapi, setelah anaknya itu menjadi orang yang sukses, maka dai ditelan tarkan. Rumah tempat tinggalnya dijual anak, kemudian dia dititipkan kepanti jompo tersebut.
Penulis juga berusaha menggambarkan bagaimana menjadi seorang kepala rumah tangga. Yang pekerjaanya bukan hanya memberikan nafkah berupa material kepada keluarganya. Tetapi seorang kepala keluarga juga harus mampu memberikan curahan kasih saying dan perhatian bagi setiap anggota keluarganya.
Dalam novel tersebut terlihat jelas bahwa penulis mengambarkan bagaimana kita harus menjadi seorang yang bertanggung jawab. Tidak mudah mengeluh terhadap setiap rintangan dan tantangn yang dikata hadapi dalam kehidupan ini. Penulis memberikan contoh kehidupan anak-anak dari kalangan yang tidak mampu. Anak-anak tersebut tiadak pernah mengeluh dan tetap berusaha, agar apa yang mereka cita-citakan bisa tercapai wlaupun dengan jalan berusaha mencari uang yang sepantasnya belum mereka lakukan.
Novel ini memang mengajari kita bagamimana seharusnya menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Yang selalu menjadi berkah tersendiri bagi lingkungan dimana saja kira berada. Dan yang paling itau kita diajarkan bagaimana mengapdi kepada sang pencipta, karena setiap helaan nafas kita, setiap perbuatan yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat nanti.
Semilir angin menyapa lembut. Berhembus menabuh daun, ranting kecil pepohonan pun menari meliuk-liuk. Di langit, sinar mentari menelusup dari balik awan yang bergelayut. Menyapa ramah, kemudian mendekap hangat penghuninya. Musim semi memang telah tiba. Tsukushi dan sumire juga tampak bermunculan disela rerumputan. Kembali, ketakjuban bagi jiwa telah dibentangkan bahwa alam semesta turut tunduk dan patuh pada peran dalam setiap lakon-Nya. Di permukaan tanah, beragam bunga liar lain berpadu menghamparkan permadani indah. Sejuk mata memandang, jiwa seakan tak lagi dahaga.
Lihatlah pula sakura yang merekah di mana-mana. Kelopaknya berwarna putih, sedikit dihiasi semburat merah muda. Setiap tangkai itu sarat dipenuhi kuntum bunga hingga tampak berjuntaian ingin mencumbu tanah. Ketika angin menggodanya, ia pun menggeliat manja. Sakura di musim semi memang selalu menebar pesona. Kehadirannya tak pernah lupa dinantikan jutaan manusia di negerinya. Seperti biasa mereka duduk berkelompok di bawah pohon, seraya menikmati keindahannya. Bahkan, tak peduli waktu siang atau malam. Tak jarang pula banyak yang bernyanyi-nyanyi atau sekedar mengabadikan kecantikannya
Namun, walaupun bunga sakura indah menawan, usianya tak pernah panjang. Satu persatu kelopaknya akan jatuh berguguran. Hanya berkisar selama dua pekan, punah lah semua. Pohonnya akan penuh daun saat musim panas, kemudian rontok ketika musim gugur menjelang. Sepanjang musim dingin, hanya dahan dan rantingnya yang tersisa. Sakura akan mekar ketika musim semi kembali tiba.
Subhanallah...
Maha suci diri-Mu ya Allah. Kau ciptakan sakura yang indah karena Engkau-lah Sang Pemilik Keindahan. Dan, bukankah sebuah fitrah pula bahwa manusia menyukai segala yang indah. Rasa ini akan membuahi putik-putik kasih, kemudian merekah menjadi bunga cinta yang bersemi di hati.
Dari rasa cinta yang fitri itu lah yang tergambar dari setiap peristwa dalam novel ini, mengajak kita untuk selalu bersama mengasah nurani agar senantiasa peka atas jati diri ini. Merundukkan hati, berharap agar hidup dapat berjalan sesuai dengan harmoni.
Penulis pun ingin menyapa dengan cinta yang tak hanya tersirat pada tebaran kata seorang pujangga, atau selarik tembang asmara. Karena, bukankah cinta yang demikian akan usai bila telah tiba waktunya? Baginya, cinta hakiki itu lahir dari hati yang merunduk pasrah, seraya meratakan kening pada hamparan sajadah. Meneteskan air mata kerinduan serta tak pernah lelah merengkuh dari Sang Pemiliknya.
D. ANALISIS NOVEL “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”
1. Pengantar
Stilistika merupakan bidang kajian kesusastraan yang menelaah pemakaian bahasa, yaitu cara pengarang memakai bahasa sebagai sarana dan efek apa yang ditimbulkan oleh cara pemakaian bahasa pengarang. Jadi, stilistika menelaah gaya (style) pemakaian bahasa pengarang.
2. Struktur Kalimat
A. Pengulangan kata-kata di awal kalimat
Di dalam “Sapa Cinta dari Negeri Sakura,” novelis banyak menggunakan kata yang sama untuk mengawali kalimat. Namun, penulis tidak menganalisis secara keseluruhan. Penulis hanya menganalisis kalimat yang diawali kata: tak, emak,dan, dan dengan.
1. Kita mengetahui “tak” bukanlah kata baku dalam bahasa Indonesia, namun dalam bidang sastra, hal itu tidak dipermaslahkan, yang lebih diutamakan yaitu unsur estetik, sehingga pengarang bebas menggunakan kata-kata. Novelis menggunakan kata “tak” lebih dari 100 kali. Kalimat yang diawali denga kata “tak” lebih dari 50, bahkan di awal paragraf kata ‘tak” yang mengawali paragraf lebih dari 10. Di bawah ini penulis hanya menganalisis penngunaan “tak” di awal kalimat tanpa membedakan apakah di awal paragraf atau tidak, dan tidak membahas penggunaan kata “tak” di tengah kalimat.
Tak juga terselip resah dan iri karena…. (Novel hlm. 3), Tak jarang terjatuh, …. (4), Tak hanya terurai dalam uraian kata, …. (4), Tak lupa ku bisikkan doa agar dia selalu indah, …(5), Tak kenal lelah hingga jarum jam berdentang …. (20), Tak sepatah kata terucap …. (20), Tak ada pula kereta kencana …. (20), Tak usah membandingkan diri dengan ….(27), Tak usahlah dirimu bersedih dan menangis ….(27), Tak lama Pangeran Genji datang menghampiri. (31), Tak jarang ustadz-uztadz …,(33), Tak ada yang dibawa ke dalam kubur kecuali kain kafan. (34) ,Tak ada yang dijanjikan, (46), Tak ada lagi tawa canda, (46), Tak banyak yang berubah, (51), Tak kulupakan bersenandung agar ia ….(53), Tak jarang matanya menantangku dengan tajam …. (53), Tak ada ciuman tangan kemaafan,(53), Tak sepatah kata jua terlontar …,(55), Tak lama mereka pun berpelukan,(65), Tak kuasa rasanya hati ini malihat …, (66), Tak ada pelukan kasih sayang, (79), Tak ada bujuk rayu penuh kemesraan,(80), Tak lama deru mobil membawa mereka …. (80), Tak ada lambaian perpisahan,(80), Tak lama, debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai, (93) ,Tak aka nada lagi senandung buaian cinta …. (95), Tak usah semkin lara di hati, (95), Tak heran pujangga cinta bisa ….(106) Tak perlu janji-janji kalau tanpa bukti. (107), Tak perlu pula bersumpah kalu pujaan hati menolak cinta ini. (107), Tak pula sepotong kue yang disodorkan ….(116), Tak lupa wajah dibuat seram. (122), Tak lupa ngeledek lagi, (122), Tak lupa isteri berkata, (122), Tak lama, seorang laki-laki …. (123), Tak banyak yang dikatakannya, (124), Tak urung mereka terlihat …. (126) Tak lama, sosok mungil itu ada dalam dekapan. (137), Tak heran, seorang ibunda ….. (138), Tak berapa lama aku pun sudah di jalanan. (156), Tak pula mereka berkurang rasa romantic ….(162), Tak banyak uang yang diperolehnya ….(167), Tak lama,Emak pun asyik berkisah …. (176), Tak lupa belioau bersuka cita …. (176),Tak kuasa menahan, air mata pun tumpah, (178), Tak habis-habis aku meruntuk. (186), Tak lupa, dengan …. (191), Tak juga kepenatan ….(192), Tak henti memamerkan kecantikan ….(233), Tak pula fitrah seorang wanita ….(234 ), dan lain-lain.
2. Pengulangan kata “emak” lebih dari 50 dalam novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”. Emak dalam bahasa Indonesia berarti ibu atau orang tua perempuan.
Emak dulu sehat, setidaknya setahun yang lalu saat kutemui. (9), Emak pun tak punya uang banyak untuk menyekolahkan anak-anaknya. (9), Emak yang dulu lincah, …. (10), Emak memang tampak letih diusianya . (11), Emak juga tertawa riang, ….(11), Emak tentu sama seperti emak-emak yang lainnya. (11), Emak selalu tampak merenung dan melamun. (12), Emak butuh luapan cinta dan kasih sayang …, (12), Emak tak butuh uang karena yang dibutuhkannya …, (12), Emak….(12), Emak dulu pernah sulit melepaskan aku ….(12), Emak yang sebelum ini rapuh, (175), Emak juga bercerita seraya (176), Emak kembaliberkata …. (178 ) dan lain-lain.
3. Pengulangan kata “dan” di awal kalimat seolah-olah merangkaikan kalimat itu dengan kalimat sebelumnya atau kalimat majemuk yang dipisahkan. Padahal kalau kita perhatikan tidak semua konsep itu bisa dipakai. Mengapa konsep itu seakan-akan berlaku secara keseluruhan? Hal itu dikarenakan kata “dan” pada kalimat majemuk salah satu kata penghubung yang digunakan.
Dan, bukankah seorang anak akan suka mengasihi kalaulah tumbuh dengan kasih sayang? (4), Dan, Emak pula pernah menangis karena janjiku….(12), Dan, perlahan aku semakin terlupakan. (33), Dan juga induknya perubahan….(109), Dan melihat adanya gairah….(194), Dan jika anak tersebut tumbuh ….(200), Dan dilihatnya begitu….(207),
4. Pengulangan kata “dengan”, di awal kalimat.
Dengan sapaan itu aku memanggilnya. (10), Dengan kekurangannya, ia memang tak mammpu lagi menjemputku ke Bandara. (11), Dengan terampil,selapis-demi selapis….(20), Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya. (26), Dengan kebesaran hati dan jiwa, (28), Dengan kebesaran hati dan jiwa, (22), Dengan tangan digenggam oleh ratu, (32), Dengan terus meneru menghadirkan…, (34), Dengan wajah merah dan degus nafas kaindahan, (54), Dengan cacat tubuhnya, (13), Dengan kasih sayang selalu…, (127), Dengan kegelapan aku berlari….9127), Dengan cacat tubuhnya….(133), Dengan tertatih-tatih, (168), Dengan penampilan fisiknya….(199), dan lain-lain.
B. Pengulangan kata-kata di tengah kalimat
Selain pengulangan kata-kata di awal kalimat, novelis juga mengulang kata di tengah kalimat, contoh: kasih sayang.
Namun pelukan kasih sayang meredakan tangisan.(4)
…harus kehilangan kasih sayang diusiaku yang tua. (55)
Emak perlu luapan dan kasih sayang dari anak-anaknya, (12)
Melepas rindu dalam belai kasih sayang dan mendengar indahnya ceritamu, (14)
Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya. (26)
2. Gaya Bahasa
1. Personifikasi
Gaya kiasan yang mengumpamakan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
Contoh personifikasi dalam novel
1. Daun semanggi pun berayun-ayun.(31)
2. Debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai.(94)
3. Dan lai-lain
2. Hiperbola
Hiperbola adlah sejenis ungkapan untuk menyatakan hal atau peristiwa dengan cara melebih-lebihkan lukisan agar lebih menarik perhatian.
Contoh dalam novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura:
1. Berjuta impian tentang keluarga ….(234)
2. Sementara beribu wajah lainnya….(95)
3. Dan lain-lain
3. Repetisi
Repetisi dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada sebuah konteks yang sesuai. Hasil analisis terhadap novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura” terdapat repetisi:
1. kuatkan hati, tegar dan tegar.
2. Begitu mahal uang pangkal, uang SPP, uang seragam, uang buku, uang kegiatan, dan lain-lain.
Kata yang bercetak tebal, itulah kata yang direpetisi untuk memperjelas pentingnya sebuah kata pada tuturan maka sebuah kata pada tuturan maka satuan lingual kata tegar diulang, begitu juga dengan kata uang yang diulang sebanyak empat kali.
4. Antonimi
Antonimi adalah satu lingual yang berlawanan, disebut juga dengan istilah oposisi. Contoh antonimi yang terdapat dalam novel:
Bau wangi menyeruah.
5. Sinonimi
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal guna mendukung kepaduan wacana. Sinonimi dipakai untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Contoh sinonimi yang terdapat dalam novel:
1 .Gersang dan kering kerontang
2. Kuatkan hati, tegar dan tegar.
Gersang bersinonom dengan kering kerontang dan kuatkan hati bersinonim dengan tegar.
BAB III
STILISTIKA CERPEN
A. Pengertian Stilistika Cerita Pendek
Stilistika cerita pendek adalah penggunaan bahasa dalam cerita pendek. Ceria pendek ini adalah bagian cerita fiksi atau cerita rekaan. Oleh karena itu, focus stilistika cerita pendek, bagaimanakah penggunaan bahasa dalam cerita pendek, yang digunakan oleh cerpenis, apakah cirri-ciri bahasa cerita pendek, apa saja komponen stil cerita pendek, bagaimanakah hubungan bahasa dengan cerita pendek.
B. Komponen Stil Cerita Pendek
Komponen stil cerita pendek ini meliputi: a). unsur leksikal; b). unsur gramatikal; c). unsur retoroka; d). unsur kohesi; dan e). unsur percakapan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu sengaja dipilih dalam cerita pendek oleh cerpenis. Disi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam cerpen Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bias jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpangan namun memiliki efek memperjelas makna. Tentang kata-kata perhatikan kembali bab 3 komponen stil sastra.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal maknanya sama dengan struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kaklimat ini akan dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Cerpenis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsure tertentu. Semua dilakukan demi efek estetis disamping menekankan pesan tertentu. Penekanan pada hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau foregraunding.
Berbagai analisis cerita pendek dapat dilaksanakan. Unsur kalimat itu berupa (1). Kompleksitas kalimat; (2). Jenis kalimat; (3). Jenis klausa dan frosa.
Semua kalimat ini untuk memperjelas makna atau penekanan terhadap makna tertentu.
C. SINOPSIS CERPEN “Lelaki dari Neraka”
Lelaki dari Neraka
Tiba-tiba saja lelaki itu menyeruak masuk lagi ke dalam hidupku. Suara baritonnya di ujung telepon pagi ini membuatku sesak napas sekaligus membuyarkan hari yang semestinya lapang dan ringan ini.
Kami berjumpa pada sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas podium dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis mahasiswa terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya menjulang, kerap disebut dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke banyak pulau yang jauh.
Pidato singkat perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang pidato perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu! Dialah bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu.
Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan. Paparannya tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien.
Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam ingatanku memegang dahiku.
”Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke dokter,” lanjutnya. Lebih mirip gumaman.
Lalu, selebihnya terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek.
Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah kota, tak jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan serangkaian seminar nasional hari-hari itu.
Demam tinggi itu menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga dengan amat segera kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat.
Yang aku sangat ingat, dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang tanganku sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan kata-kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan getaran-getaran aneh, melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku.
Hari-hari yang tersisa kemudian adalah hari-hari kami.
”Pembicara dan materi seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya mendengarkan. Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
”Dan tak bermutu,” katanya lagi.
Maka, kami pun membolos dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri Malioboro. Berkeliling Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di sepanjang sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan. Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka.
Bagiku, hari-hari membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku.
Selepas ciuman pertama kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor ekonomi politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil.
”Pembangunan Jepang sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja kapitalisme sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik. Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut berhadapan dengan kapitalisme internasional. Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen kegagalan pembangunan,” kuliahnya berapi-api.
Di depan orang utan Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan kekaguman tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko kemudian berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak habis-habis.
Yogyakarta hari-hari itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan anehnya menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan.
Lelaki itu memang berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula, mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa, tiba-tiba diangkat naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut.
Diam-diam lelaki itu berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh bagian hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh terasa panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal para penghuninya mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung Bulaksumur. Sungguh sulit kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan atau sekadar perbincangan panjang, jadilah dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku.
Di hari perpisahan kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya menggetarkan ulu hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa menggantung di atas stasiun Tugu petang itu.
Aku benar-benar menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah jatuh cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar.
Lututku bergetar hebat. Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah ditelan tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku terbawanya serta.
Tapi, sejarah kami dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung.
Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi sepotong pun kabar darinya.
Yang kutahu bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai kekuasaan Orde Baru, nama harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara baritonnya akrab menggauli telinga siapa saja hingga ke dusun-dusun di pedalaman. Karier politiknya melejit.
Aku sendiri harus menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap tamat dan usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang mengiris-iris.
Lima tahun penantian tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di kepalaku. Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga, pemujaan, dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang bajingan tengik tak punya tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.
Sejarah pendek itu makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya kemudian adalah menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan lelaki itu memang berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku pada sebuah pagi biasa. Kini, aku telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan satu jagoan kecil.
Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan napas memburu.
”Ibu! Ibu! Ada telepon! Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang.
Semacam rasa waswas yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang tengah.
”Selamat pagi Ibu. Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan bicara,” suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah tangan.
”Selamat pagi Dyah. Ini saya. Apa kabar?”
Suara bariton itu menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.
D. ANALISIS CERPEN “Lelaki dari Neraka”
1. Sinonimi
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal guna mendukung kepaduan wacana. Sinonimi dipakai untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin.
Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya
2. Antonimi
Antonimi adalah satu lingual yang berlawanan, disebut juga dengan istilah oposisi. Contoh antonimi yang terdapat dalam cepen
…dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin.
Kata berat merupakan lawan kata dari ringan
3. Gaya Bahasa
1. Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Artinya bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu ia memerlukan usaha secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu penggunaan kata-kata seperti,bagai(kan), bak, seumpama, laksana,dan sebagainya. Kadang-kadang diperoleh pula persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang hendak dibandingkan. Contoh simile dalam cerpen “Lelaki dari Neraka”
Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
Pidato yang sedang berlangsung disamakan dengan khotbah.
2. Hiperbola
Hiperbola adlah sejenis ungkapan untuk menyatakan hal atau peristiwa dengan cara melebih-lebihkan lukisan agar lebih menarik perhatian.
Contoh
yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.
Ia melebih-lebihkan dengan kata-kata tiap pagi, siang atau petang. Kalau kita lihat dari kata-kata yang membentu kalimat seolah-olah setiap saat ia mendoakan laki-laki itu agar masuk neraka.
BAB IV
STILISTIKA PUISI
A. Pengertian Stilistika Puisi
Stilistika puisi adalah telaah penggunaan bahasa dalam puisi. Oleh karena itu yang menjadi focus dalam stilistika puisi adalah bagaimanakah penggunaan bahasa dalam puisi-puisi penyair, apakah cirri bahasa dalam puisi (bahasa puisi) apa sajakah unsure/komponen stilistika puisi, bagaimanakah hubungan bahasa dengan puisi?
B. Komponen Stilistika Puisi
a. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Misalnya : lagu, melodi, irama. Bunyi di di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu memperdalam ucapan, menimbulkan rasa dan menimbulkan bayangan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesusastraan, bunyi ini pernah menjadi kepuitisan yang utama dalam sastra romantic, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Slametmuljana, 1956:56). Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821-1867). Salah seorang simbolis, Paul Varlaine (1844-1896) berkata bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi(De la musique avant chose). Para penyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka.
Menurut teori simbolisme (Slametmuljana, 1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarah puisi sedakat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya. Misalnya dapat dilihat dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar yang mempergunakan lambing-lambang yang memberi sugesti kepada kenyataan hidup (di Indonesia) yang sebenarnya.
Kita tidak dapat menangkap kenyataan hidup sebenarnya kecuali hanya sugesti-sugesti tentang kehidupan yang menyedihkan, penuh kesukaran, dan keburukan, tanpa perubahan: hidup yang terbaring mati – musim yang mengandung luka.
Menurut teori simbolisme, tugas puisi adalah mendekati kenyataan ini, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Baik dalam aliran simbolisme maupun romantic arti kata terdesak oleh bunyi atau suara. Dengan begitu, kesusastraan telah kemasukan aliran seni musik (Slametmuljana, 1956:59).
b. Irama
Hal yang masih erat berhubungan dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gemercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa asingnya rhythm (ing.), rhytme (Pr.), berasal dari kata Yunani, reo, yang berarti riak air. Gerakan-gerakan air, riak air adalah gerakan yang teratur, terus menerus tidak putus-putus. Itulah barangkali setiap gerak yang teratur disebut reo (gerakan air mengalir), menjadi ritmos, Rhytmus (L), kemudian menjadi rhythm, rhytme, ritme (Ind.).
Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur. Irama ini tidak terbatas hanya pada kesusastraan, tetapi juga dalam seni rupa: lukis, patung, bangunan dan sebagainya. Lebih-lebih dalam seni musik (nyanyian). Bahkan semua yang teratur itu disebut irama atau berirama.
Sesungguhnya irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, tetapi hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Pada umumnya puisi Eropa mempergunakan dasar metrum. Metrum itu banyak macamnya. Misalnya metrum jambis. Tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan (v-). Misalnya yang berikut ini
/v- /v- /v- / v- /
My heart is like a sing-ing bird
/v- /v- /v- / v- /
Whos nest is in a watered shoot (Altenbernd, 1970:36)
Metrum anapest, tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan, kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (v v-).
vv- /vv- / vv- / vv-
For the mon never beams without bringing me dreams
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee
vv- /vv- / vv- / vv-
and the stars never rice but I feel the bright eyes
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee (Altenbernd, 1970:38)
Metrum trochee atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan.
/v- /v- /v- / v- /
There they are my fif – ty men and wo-men
/v- /v- /v- / v- /
Na-ming me the fif-ty poems finished
(Altenbernd, 1970:38)
Dalam kesusastraan Jawa Kuno, Kakawin, kita kenal sajak-sajak yang bermetrum. Kita kenal kaki sajaknya terdiri dari kombinasi dua macam suku kata yang panjang atau berat disebut guru, sedangkan suku kata yang bertekanan ringan atau pendek disebut laghu.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena peluang bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sintakis: gatra atau kelompok kata.
Untuk menyelidiki irama ini agak sukar sebab dalam puisi tidak tampak jelas seperti pada musik, disebabkan kata-kata yang jumlah suku kata serta tekanan tidak pasti. Namun, irama puisi dapat kita rasakan dengan hal-hal yang telah disebabkan tadi. Dalam puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada, kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap.
c. Kata
Satuan arti yan menentukan structural formal linguistic karya sastra adalah kata. Dalil sastra J. Elema menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan kedalam kata (Slametmuljana, 1956:25). Untuk mencapai ini pengarang mempergunakan berbagai cara. Terutama alatnya yan terpenting adalah kata.
Dalam pembicaraan ini akan ditinjau arti kata dan efek yang akan ditimbulkannya. Diantaranya arti denotative dan kono tatif, perbendaharaan kata (kosa kata), pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, factor ketata bahasaan dan hal-hal yan berhubugnan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi yang semuanya itu dipergunakan oleh penyair untuk melahirkan pengamalan jiwanya dalam puisi-puisinya.
Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair , oleh slametmuljana disebut kata berjiwa (1956:4) yang tidak sama (artinya) dengan kata dalam kamus. Yang masih menunggu pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu singkatnya, kata berjiwa sudah diberi sesuasana tertentu. Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika, sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dari yang alin disebut Leksikografi. Kata berjiwa sudah tetap artinya, sudah mengandung jelmaan rasa dan penciptanya ( Selametmuljana, 1956:25). Penempatan kata yang mengakibatkan gaya kalimat disamping ketepatan pemilihan kata, memeran peranan penting dalam penciptaan sastra. Dramatika yang membicarakan efek dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata disebut tata bahasa stilistika , sedang yang lain membicarakan kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normatik.
d. Kosa Kata
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan dalam bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata. Segala kemungkinan diluar kata tidak dapat dipergunakan (Slametmuljana, 1956:7), misalnya mimic, gerak dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat yan gdiperlukan. Juga diperbedaan arti dan rasa, sekecil-kecilnya pun harus dikusai pemakainya. Sebab itu pengetahuan tentang lesikografi sastrawan syarat mutlak. Pernah dalam salah satu ceramahnya W.S Rendra menganjurkan para penyair untuk selalu meliha arti kata dalam kamus, seperti ia sendiri selalau melihat kamus bahasa dengan tekun untuk mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Dengan demikian, tak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya berbeda dengan bahasa masyarakat. Bahkan puisi akan mempunyai nilai abadi bila didalmnya sastrawan berhasil mempergunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Seseungguhnya sesuatu anggapan salah bahwa para penyair mempunyai bahasa khusus hanya untuk sastrawan saja. Terlepas dari perbendaharaan bahasa umum.
e. Pemilihan Kata
Penyair hendak mencurahkan perasaan isi pikirannya daengan setepan-tepatnya seperti dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam kata disebut diksi.
Barfield mengemukakan bahwa bila kat-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sademikian rupa hinga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajenasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (1952:41). Jadi diksi itu untuk mendapatakan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia dapat memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaran dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbrend, 1970:9). Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat.
f. Denotasi dan Konotasi
Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Dalam memilih kata supaya tepat dan menimbulkan gambaran yang jelas dan padat itu penyair mesti mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata.
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahan. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebut, kata atau diceritakan (Altenbrend, 1970:9). Bahasa yang denotative adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjukkan satu hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca puisi orang harus mengerti arti kamusnya. Arti denotative, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
g. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, meskipun bermacam-macam mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan susuatu yang lain (Altenbrend, 1970:15).
Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah :
a. perbandingan (simile)
b. metafora,
c. Perumpamaan epos (epic smile)
d. Personifikasi,
e. Metonimi
f. Sinekdoki ((synecdoche)
g. Allegori
C. SINOPSIS PUISI “PETANI SEDIH DI UJUNG HARI”
PETANI SEDIH DI UJUNG HARI
Bila tanah sudah lagi tak bertuah
Kemarau memaksa hujan menyiksa
Petani murung dimana-mana
Hidup sesak pilu gulana
Hasil panen tak berarti
Harga meninggi
Kantong tak lagi bertepi
Jalan-jalan rusak memerih
Hasil panen mesti dibeli
Dulu padi-padi menyubur berseri
Datu-datu mengerti apa itu hari
Untuk member pada ilahi
Di lembar berlalu
Pesta panen bisa berderu-deru
Bersama tarian tor-tor gondang bertalu.
Oh tarianku, kenapa kau berubah benci ?
petani sedih di ujung hari
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup, apa lagi.
Nyanyian suara pedati merintih-rintih
pematang sawah semakin mati
oh begitu ngeri.
hancur badan keringlah tulang
hidup bagaikan ditepi jurang
silap-silap bisa terbuang
tanaman terikam badai meradang
Ketika petang menjelang
Anak-anak bertanya jalang
membuat hati jadi bimbang.
guru bilang,
negeri kita kaya membentang
namun kenapa hidup terasa terbuang
guru bilang,
di tanah negeri tersimpan emas batangan
namun kenapa hidup jadi malang
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup , apa lagi.
sudahlah nak tidurlah nyenyak
banyak retak tak mesti dielak
hidup takkan bergerak
bila pijak hanya lurus tegak
manusia meningkah
alam resah gelisah
tanah tak lagi bertuah
hanya dalam doa
petani gembira
dalam mimpi terjaga
tutur agama tersiram ke jiwa
dulu padi-padi menyubur berseri
datu-datu mengerti apa itu hari
untuk memberi pada Ilahi
di lembar berlalu
pesta panen bisa berderu-deru
bersama tarian tor-tor gondang bertalu.
sudahlah nak tidurlah nyenyak
banyak retak tak mesti dielak
hidup takkan bergerak
bila pijak hanya lurus tegak
AHMAD PARMONANGAN NST
2007
D. ANALISIS PUISI “PETANI SEDIH DI UJUNG HARI”
1. Ahmad Parmonangan Nst. Menggunakan pola-pola sajak dan pantun, tetapi dengan variasi baru.
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup, apa lagi.
2. Dalam puisi “Petani Sedih di Ujung Hari” juga terdapat repetisi
Repetisi atau perulangan merupakan salah satu jenis aspek leksikal yang berupa perulangan unsur wacana yang dianggap paling penting untuk member tekanan dalam sebuah konteksyang sesuai.
Misalnya mengulang kata petani, guru bilang, guru bilang, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan kata-kata tersebut penting untuk ditekankan.
3. Gaya Bahasa
Penyair banyak menggunakan gaya bahasa , contoh:
Ironi adalah suatu ekspresi maksud dengan menggunakan sesuatu yang berlawanan secara langsung pada pikiran kebenaran agar agar orang yang dituju tersindir secara halus tetapi tajam untuk memeksa mengubah sikap atau pendiriannya.
guru bilang,
negeri kita kaya membentang
namun kenapa hidup terasa terbuang
guru bilang,
di tanah negeri tersimpan emas batangan
namun kenapa hidup jadi malang
Cuplikan di atas salah satu contoh Ironi. Ironi adalah suatu ekspresi maksud dengan menggunakan sesuatu yang berlawanan secara langsung pada pikiran kebenaran agar agar orang yang dituju tersindir secara halus tetapi tajam untuk memeksa mengubah sikap atau pendiriannya.
Dari cuplikan di atas, penyair mempumyai maksud agar pemerintah kita mengubah sikap atau pendiriannya, karena alam kita yang sangat terkenal melimpah, yang mempunyai SDA yang sangat luar biasa, tetapi rakyatnya sangat menderita. Kita tidak bisa menikmati kekeyaan alam tersebut,kekayaan itu hanya dinikmati segelintir orang yang ada di atas. Bagaimana mungkin, di Negara yang hasilnya melimpah ruah tetapi banyak yang tidak makan?, bagaimana mungkin di Negara yang di anugerahkan Allah fotensi yang sangat luar biasa, tetapi begitu kita lahir lahir sudah dibebani hutang?, bagaimana mungkin hidup di Negara penghasil bahan bakar, tetapi untuk mendapat bahan bakar sulit dan harus membelinya dengan harga yang cukup mahal?
DAFTAR PUSTAKA
Dufa, Abu. 2005. “Sapa Cinta Dari Negeri Sakura”. Pena Pundi Aksara. Jakarta
Sumber Dari : http://www.kompas.com
Parmonangan NST, Ahmad. 2007. “Petani Sedih di Ujung Hari”, dalam “Medan Puisi”.
Laboratorium Sastra Medan. Medan
Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. USU Press. Medan
Barus, Sanggup. 2008. Keterampilan Menulis. UNIMED. Medan
PENDAHULUAN
A. Pengertian Stilistika
Berabagai pengertian stilistika telah dirumuskan oleh ahli sastra dan linguistic. Pengertian stilistika secara sederhana dan luas diurai di bawah ini.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin merumuskan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya bahasa (1978:127). Dalam Mitos dan Komunikasi, “Strategi untuk suatu penyelidikan stilistika”, Yunus merumuskan stilistika (a) dibatasi kepada penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Dalam beberapa kamus umum dan istilah pengertian stilistika itu sama atau hampir bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:895), stilistika, ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Dewan (1996:1305), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Stilistik:
1). Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara berkesan dalam penulisan.
2). Berkaitan dengan kata stail atau gaya gaya, terutama gaya bahasa penulisan.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990:79) menulis stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan dkk (1994:194) menuliskan stilistika ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995:277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistic dan sastra.
Dalam Kamus Linguistic, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika.
1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistic dan kesusastraan.
2) Penerapan linguistic pada penelitian gaya bahasa.
Dalam The Cambridge Encyclopedia of language, Crystal (1989:431) berpengertian bahwa stylistics the study of systematic variation in language use: in style characteristic individual or group. Also Stylolinguistics.
Dalam Logman Dictionary of Applied Linguistics, Richard, John and Platt (1985:278) berpengertian bahwa stylistics, in the study of that variation in language style, indich is dependent of situation in aqich the the language is used and also on the effect the writers or speakers whishes to creation the reader or hearted. Although sometime include invenfigations of spoken language; of usually refers to the study of inviter language, include literary texts. Stylistics is concerned with the choices that are available to writers and reasons why particles form and expressions are used rather than other.
Dalam The Linguistics Encyclopedia. Kristen Malmkjaeer (1991:439) menuliskan bahwa stylistics is the study of style in spoken and written texts. By the style is meant a consisistein occurrence in the texts of certain items and structural, or types of item and structures, among those of fared by language whole.
Dalam A Hand Back of English Language Teaching; Term and Practice. Brian Seaton (1982:162) berpengertian bahwa stylistics, the study of literady discourse from the point of view of linguistics.
Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistic. Stilistka mengkaji cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsure dan kaidah yang terdeapat bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, cirri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literature, singkatnua stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Dalam Kosa Semiotika, Budiman menuliskan bahwa dilihat dari sudut pandang tertentu, stilistika merupakan subsidiplin linguistic yang mengarah perhatian terhadao teks-teks sastra. Stilistk menerapkan metode-metode structural terhadap teks-teks sastra. Di samping itu dilihat dari perspektif lain, stilistik dapat dipahami sebagai suatu disiplin otonom yang mencoba menerapkan secara efektif metode-metode baik linguistic maupun ilmu sastra (1999:111).
Dalam Perbincangan Gaya Bahasa Sastra, sastrawan Negara Keris Mas, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1988:8) berpengertian bahwa stilistika tidak lain dari pada kajian stail, yang mengkaji segala kemungkinan gaya kesusastraan untuk menilai dan mendapatkan kefahaman benar mengenai sebuah teks kesusastraan.
Dalam Stylistics, Harmondworth Penguin Book Tunner (1977:7) merumuskan bahwa stilistika adalah bagian dari linguistic yang memusatkan perhatiaannya pada variasi penggunaan bahasa terutama bahasa dalam kesusastraan.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa :
1) Stilistika adalah ilmu interdisipliner linguistic dengan sastra
2) Stilistika adalah ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra
3) Stilistika adalah ilmu gaya bahasa yang digunakan dalam wacana sastra
4) Stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistic
Sebagaimana ilmu interdisipliner stilistika dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Disiplin Linguistic Studi Sastra
- -
- Stilistika -
- -
- -
Subjek Bahasa Sastra
Diadaptasi dari Widdowson (1985:4)
B. Sejarah Stilistika
Dewasa ini, stilistika telah menjadi sebuah cabang ilmu, yang berasal dari interdisipliner linguistic dan sastra. Sebelumnya, stilistika belum dikaji secara ilmiah. Dengan demikian sesungguhnya sudah sejak lama ditelaah. Di bawah ini diuraikan sejarah stilistika di Barat dan di Indonesia
Sejak zaman Plato (427-317 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) sesungguhnya telah ada kajian lingusistik tentang proses proaktif dalam kesusastraan. Zaman Plato dan Aristoteles mungkin terlalu lebih jauh dari zaman kita.
Pada 1916 telah terbit sebuah kata hasil kerjasama sastrawan dan bahasa berakhir Formolisme Rusia judul buku itu, The Study in Theory of Puitics Language. Pada 1923 Roman Jakobsan menulis tentang puisi Ceko yang menerapkan criteria semantic modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi.
Pada 1957, Chomsky membuka pandangan baru linguistic dalam penerbitan bukunya Syntactic Structures. Kesusastraan merasakan dampak pandangan baru itu.
Pada awalnya, sastrawan dan kritikus sastra memungsukan manfaat kajian linguistic terhadap karya sastra. Berbagai anggapan pengkajian demikian akan merusak keindahan seni karya sastra itu. Semakin lama semakin disadari bahwa pendekatan linguistic merupakan salah satu pendekatan yang dapat ditempuh untuk menemukan makna karya sastra. Analisis stilistika berupaya mengganti subyektif dan impressionisme yang digunakan kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
Pada 1973, terbit Stylistics, G. tunner harmsondworth, Penguin Books. Pada 1980, terbit buku Linguistic; for Students of Literature A Stylistic Introduction of the Study of Literature Pergamo fustitut of English, Oxford of Michael Cumming and Robert Simon pada 1985, terbit Stylistics and Teaching of Literature.
Di Malaysia, stilistika juga mengalami perkembangan. Pada 1966, Yunus telah banyak menulis majalah stilistika. Ia termasuk pakar stilistika, di samping Mohammmad Yusof Hasan dan Shahran Ahmad, makalah Yunus telah dibukukan dengan judul Dari Kata ke Ideologi: Fajar Bakti, Petalung Jaya 1985.
Pada 1979 Mangantar Simanjuntak juga mulai membahas stilistika. Makalahnya berjudul Aplikasi Linguistik Dalam Pengkajian dan Penulisan Karya Sastra. Ia menganalisis teks sastra berdasarkan teori linguistic Transformatif Generatif. pada saat yang sama mana Si Kana (Keris Emas), menulis makalah Kaktus-Kaktus Kemasan Safe Pengandaan Stilistika.
Pada 1980, persatuan Linguistik Malaysia mengadakan seminar bahasa dan sastra. Pada 1982 makalahnya dibukukan dengan judul Stilistika Simposium Keindahan Bahasa yang disunting oleh Prof. Farid Onn. Penyumbang makalah adalah Prof. Farid Onn, Dr. Nik Safiah Karim, Awang Sariyah, Dr. Mangantar Simanjuntak, Dr. Dahnil Adnani, Abdul Rahman Napiah, Hashim Awang, Prof. Kamal Hasan, dan Lutfi Abas. (Abas, 1990:25).
Pada 1985, jurusan Linguistik, jabatan pengkajian Melayu, Universiti, Melayu telah mengadakan satu langkah yang dinamakan Bengkel Stilistik. Dalam bengkel ini, beberapa makalah membahas aspek stilistika atau gaya bahasa. Makalah-makalah telah diterbitkan dengan judul Stilistik: Pendekatan dan Penerapan.
Pada 1989, Yunus menerbitkan bukunya berjudul Stilistik: Satu Pengantar Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian, Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur. Di dalamnya dibahas tentang :
1) Berbagai pemahamana tentang gaya bahasa
2) Gaya sebagai Mekanisme Stilistika dan sebagai tanda
Buku ini merupakan hasil pergelutan selama 30 tahun semenjak ia berkenalan dengan istilah stilistik, sejak itu ia selalu berdialog dengan persoalan stilistika.
Di Indonesia stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada 1956, Slamat Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini berisi sekalar Pemandangan tentang Poesi juga biasa di sebut Puitika. Pandangan Puitika tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan filsafat. Dengan demikian peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa. Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia. Selamat Mulyani mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa (1956: 4).
Istilah stilistika kemuian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa yang menyebut gaya bahasa apa yang disebut Stiijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Inggris, dan Perancis, Stil dalam bahasa jerman.
Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika bercerita tentang stil seseorang pengarang yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan bahasa, melainkan juga gayanya becerita. Seorang Stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam bentuk lain, atau begaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian ia menerbitkan buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritukus sastra menggunakan pendekatan intrinsic dan ekstrinsik, bahkan ada yang menggunakan beberpa pendekatan sekaligus. Semua itu ada hokum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyempaiannnya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya.
Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistic atau ilmu bahasa terhadap studi sastra. Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan kritikus sastra. (Sudjiman, 1993:VII).
Pada 1986, Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan penggunaan bahasa suatu karyasastra melalui aspek bahasa misalnya peribahasa, ungkapan, gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia.
Di Universitas Gajah Mada, penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan sekarang ini, misalnya Budi S telah membuat skripsi tentang Bahasa Danarto dalam Godiob: Kajian Stilistika Cerpen-Cerpen Danarto, 1990. Ia memberikan penekanan analisis terhadap kosa kata, majas (bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi bahasa dan humordari mantra (Puleh, 1994:X).
Pada 1993, Lukman Hakim membahas stilistika judul makalahnya Tinjauan Stilistika Terhadap “Robohnya Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan 1). Struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita. 2). Pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas (Depdikbud, 1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4).
BAB II
STILISTIKA NOVEL
A. Pengertian Stilistika Novel
Stilistika novel adalah kajian penggunaan bahasa dalam novel. Di dalamnya dibahas bagaimana penggunaan kalimat dalam novel, oleh novelis bagaimana hubungan antar kalimat dalam novel dan antar paragraph dalam novel, bagaimana gambaran budaya dan sisial/masyarakat dalam novel, bagaimana percakapan atau dialog dalam novel.
B. Komponen Stil Novel
Dalam sub bab ini diuraikan secara khusus komponen stil novel ini meliputi: a). unsur leksikal; b). unsur gramatikal; c). unsur retoroka; d). unsur kohesi; dan e). unsur percakapan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu sengaja dipilih dalam novel oleh novelis. Disi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam novel Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bisa jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpangan namun memiliki efek memperjelas makna. Tentang kata-kata perhatikan kembali bab 3 komponen stil sastra.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal maknanya sama dengan struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kaklimat ini akan dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Novelis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu. Semua dilakukan demi efek estetis disamping menekankan pesan tertentu. Penekanan pada hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau foregraunding.
Berbagai analisis novel dapat dilaksanakan. Unsur kalimat itu berupa (1). Kompleksitas kalimat; (2). Jenis kalimat; (3). Jenis klausa dan frosa.
Semua kalimat ini untuk memperjelas makna atau penekanan terhadap makna tertentu.
C. SINOPSIS NOVEL “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”
Goresan Kata Pembuka "Bercermin pada sketsa hari-hari Abu Aufa, menghadiahi kita percik-percik cinta yang memantik fajar harapan. Sebuah pemotretan manis dari seorang musafir kehidupan, bingkisan buat jiwa yang setia meniti jalan cinta-Nya.
Begitu jauh jarak yang terbentang di antar kita. Jarak yang selalu melahirkan kerinduan dalam riak anak sungai di pelupuk mata. Sesungguhnya, tak ingin jasad ini terbang menjauhimu. Ingin rasanya aku selalu mendekap tubuh yang mulai sepuh lalu bermanja di pangkuanmu. Melepaskan rindu dalam belay kasih saying dan mendengar indahnya ceritamu, setiap detik dalam rahim, gendongan pelukan, bagai masa kecilkua dulu. Kini air mataku berderai, karena selalu rindu dengan belay kasih sayangmu. Tapi akua tahu, engkau lebih merindukan kehadiran anakmu.
Itulah curahan hati tokoh dalam cerita, ketika ingin meninggalkan ibunya guna menuntut ilmu ke negeri Jepang. Dia berjanji akan pulang, bukan membawa kemewahan, tetapi membawa pulang serumpun ilmu pengetahuan dan curahan kasih saying sebagai mana curahan kasih saying seoran ibu kepada anaknya yang tak pernah habih dan berhenti.
Di dalam novel penulis juga menggambarkan bagaimana seharusnya menghadapi kenyataan hidup. Bagaimana kita mengingat kematian yang memang semestinya tak perlu menjadi sesuatu yang ditakuti, karena niscaya ia akan dating menghampiri pada waktunya nanti. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah mempersiapkan diri ini hingga kelak kematian itu menjadi indah.
Memang dunia ini diciptakan indah dalam pandangan mata. Dihiasi taman-taman bunga yang indah, anak-anak sebagai penghibur diri, istri yang cantik, suami yang baik, makanan yang beraneka ragam, harta, tahta, dan sebagainya. Namun semua itu pada akhirnya juga kita tinggalkan. Tak ada yang dibawa kea lam kubur kecuali hanya kain kafan.
Itulah sebagian kecil gambaran kematian yang berusaha dijelaskan pengarang kepada halayak pembaca. Kematian memang akrab dengan kita. Aroma kematian serasa ada disetiap hembusan nafas kita.
Pernikahan tidak lupa juga disorot penulis dalam nivel ini. Penulis berusaha menjelaskan bahwa setiap manusia sudah disediakan oleh Allah jodohnya masing-masing. Dan, jodoh tersebut bukan lah dating sendiri, akan tetapi manusia itu sendiri harus berusaha mencarinya. Pernikahan antara dua insan yang berbeda keyakinan juga dijelaskan, karena hal-hal tersebut tak akan melahirkan kebahagian, apalagi ketenteraman jiwa, karena hal tersebut adalah zina.
Sebagian kejadian-kejadian yang memberi kita ilmu pengetahuan tentang hal-hal di sekitar kita, sebagian besar bukan pengalan langsung tokoh dalam cerita, akan tetapi merupakan kejadian-kejadian yang dia liahat disekitarnya. Misalnya saja ketika tokoh berkunjung kesebuah panti jompo. Disan dia bertemu seorang wanita yang sudah lanjut usia. Wanita tersebut terlihat murung, setelah ia betanya kenapa wanita itu murung, maka berceritalah wanita tersebut. Wanita itu memiliki seorang anak laki-laki yang amat ai sayangi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya tersebut. Akan tetapi, setelah anaknya itu menjadi orang yang sukses, maka dai ditelan tarkan. Rumah tempat tinggalnya dijual anak, kemudian dia dititipkan kepanti jompo tersebut.
Penulis juga berusaha menggambarkan bagaimana menjadi seorang kepala rumah tangga. Yang pekerjaanya bukan hanya memberikan nafkah berupa material kepada keluarganya. Tetapi seorang kepala keluarga juga harus mampu memberikan curahan kasih saying dan perhatian bagi setiap anggota keluarganya.
Dalam novel tersebut terlihat jelas bahwa penulis mengambarkan bagaimana kita harus menjadi seorang yang bertanggung jawab. Tidak mudah mengeluh terhadap setiap rintangan dan tantangn yang dikata hadapi dalam kehidupan ini. Penulis memberikan contoh kehidupan anak-anak dari kalangan yang tidak mampu. Anak-anak tersebut tiadak pernah mengeluh dan tetap berusaha, agar apa yang mereka cita-citakan bisa tercapai wlaupun dengan jalan berusaha mencari uang yang sepantasnya belum mereka lakukan.
Novel ini memang mengajari kita bagamimana seharusnya menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Yang selalu menjadi berkah tersendiri bagi lingkungan dimana saja kira berada. Dan yang paling itau kita diajarkan bagaimana mengapdi kepada sang pencipta, karena setiap helaan nafas kita, setiap perbuatan yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat nanti.
Semilir angin menyapa lembut. Berhembus menabuh daun, ranting kecil pepohonan pun menari meliuk-liuk. Di langit, sinar mentari menelusup dari balik awan yang bergelayut. Menyapa ramah, kemudian mendekap hangat penghuninya. Musim semi memang telah tiba. Tsukushi dan sumire juga tampak bermunculan disela rerumputan. Kembali, ketakjuban bagi jiwa telah dibentangkan bahwa alam semesta turut tunduk dan patuh pada peran dalam setiap lakon-Nya. Di permukaan tanah, beragam bunga liar lain berpadu menghamparkan permadani indah. Sejuk mata memandang, jiwa seakan tak lagi dahaga.
Lihatlah pula sakura yang merekah di mana-mana. Kelopaknya berwarna putih, sedikit dihiasi semburat merah muda. Setiap tangkai itu sarat dipenuhi kuntum bunga hingga tampak berjuntaian ingin mencumbu tanah. Ketika angin menggodanya, ia pun menggeliat manja. Sakura di musim semi memang selalu menebar pesona. Kehadirannya tak pernah lupa dinantikan jutaan manusia di negerinya. Seperti biasa mereka duduk berkelompok di bawah pohon, seraya menikmati keindahannya. Bahkan, tak peduli waktu siang atau malam. Tak jarang pula banyak yang bernyanyi-nyanyi atau sekedar mengabadikan kecantikannya
Namun, walaupun bunga sakura indah menawan, usianya tak pernah panjang. Satu persatu kelopaknya akan jatuh berguguran. Hanya berkisar selama dua pekan, punah lah semua. Pohonnya akan penuh daun saat musim panas, kemudian rontok ketika musim gugur menjelang. Sepanjang musim dingin, hanya dahan dan rantingnya yang tersisa. Sakura akan mekar ketika musim semi kembali tiba.
Subhanallah...
Maha suci diri-Mu ya Allah. Kau ciptakan sakura yang indah karena Engkau-lah Sang Pemilik Keindahan. Dan, bukankah sebuah fitrah pula bahwa manusia menyukai segala yang indah. Rasa ini akan membuahi putik-putik kasih, kemudian merekah menjadi bunga cinta yang bersemi di hati.
Dari rasa cinta yang fitri itu lah yang tergambar dari setiap peristwa dalam novel ini, mengajak kita untuk selalu bersama mengasah nurani agar senantiasa peka atas jati diri ini. Merundukkan hati, berharap agar hidup dapat berjalan sesuai dengan harmoni.
Penulis pun ingin menyapa dengan cinta yang tak hanya tersirat pada tebaran kata seorang pujangga, atau selarik tembang asmara. Karena, bukankah cinta yang demikian akan usai bila telah tiba waktunya? Baginya, cinta hakiki itu lahir dari hati yang merunduk pasrah, seraya meratakan kening pada hamparan sajadah. Meneteskan air mata kerinduan serta tak pernah lelah merengkuh dari Sang Pemiliknya.
D. ANALISIS NOVEL “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”
1. Pengantar
Stilistika merupakan bidang kajian kesusastraan yang menelaah pemakaian bahasa, yaitu cara pengarang memakai bahasa sebagai sarana dan efek apa yang ditimbulkan oleh cara pemakaian bahasa pengarang. Jadi, stilistika menelaah gaya (style) pemakaian bahasa pengarang.
2. Struktur Kalimat
A. Pengulangan kata-kata di awal kalimat
Di dalam “Sapa Cinta dari Negeri Sakura,” novelis banyak menggunakan kata yang sama untuk mengawali kalimat. Namun, penulis tidak menganalisis secara keseluruhan. Penulis hanya menganalisis kalimat yang diawali kata: tak, emak,dan, dan dengan.
1. Kita mengetahui “tak” bukanlah kata baku dalam bahasa Indonesia, namun dalam bidang sastra, hal itu tidak dipermaslahkan, yang lebih diutamakan yaitu unsur estetik, sehingga pengarang bebas menggunakan kata-kata. Novelis menggunakan kata “tak” lebih dari 100 kali. Kalimat yang diawali denga kata “tak” lebih dari 50, bahkan di awal paragraf kata ‘tak” yang mengawali paragraf lebih dari 10. Di bawah ini penulis hanya menganalisis penngunaan “tak” di awal kalimat tanpa membedakan apakah di awal paragraf atau tidak, dan tidak membahas penggunaan kata “tak” di tengah kalimat.
Tak juga terselip resah dan iri karena…. (Novel hlm. 3), Tak jarang terjatuh, …. (4), Tak hanya terurai dalam uraian kata, …. (4), Tak lupa ku bisikkan doa agar dia selalu indah, …(5), Tak kenal lelah hingga jarum jam berdentang …. (20), Tak sepatah kata terucap …. (20), Tak ada pula kereta kencana …. (20), Tak usah membandingkan diri dengan ….(27), Tak usahlah dirimu bersedih dan menangis ….(27), Tak lama Pangeran Genji datang menghampiri. (31), Tak jarang ustadz-uztadz …,(33), Tak ada yang dibawa ke dalam kubur kecuali kain kafan. (34) ,Tak ada yang dijanjikan, (46), Tak ada lagi tawa canda, (46), Tak banyak yang berubah, (51), Tak kulupakan bersenandung agar ia ….(53), Tak jarang matanya menantangku dengan tajam …. (53), Tak ada ciuman tangan kemaafan,(53), Tak sepatah kata jua terlontar …,(55), Tak lama mereka pun berpelukan,(65), Tak kuasa rasanya hati ini malihat …, (66), Tak ada pelukan kasih sayang, (79), Tak ada bujuk rayu penuh kemesraan,(80), Tak lama deru mobil membawa mereka …. (80), Tak ada lambaian perpisahan,(80), Tak lama, debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai, (93) ,Tak aka nada lagi senandung buaian cinta …. (95), Tak usah semkin lara di hati, (95), Tak heran pujangga cinta bisa ….(106) Tak perlu janji-janji kalau tanpa bukti. (107), Tak perlu pula bersumpah kalu pujaan hati menolak cinta ini. (107), Tak pula sepotong kue yang disodorkan ….(116), Tak lupa wajah dibuat seram. (122), Tak lupa ngeledek lagi, (122), Tak lupa isteri berkata, (122), Tak lama, seorang laki-laki …. (123), Tak banyak yang dikatakannya, (124), Tak urung mereka terlihat …. (126) Tak lama, sosok mungil itu ada dalam dekapan. (137), Tak heran, seorang ibunda ….. (138), Tak berapa lama aku pun sudah di jalanan. (156), Tak pula mereka berkurang rasa romantic ….(162), Tak banyak uang yang diperolehnya ….(167), Tak lama,Emak pun asyik berkisah …. (176), Tak lupa belioau bersuka cita …. (176),Tak kuasa menahan, air mata pun tumpah, (178), Tak habis-habis aku meruntuk. (186), Tak lupa, dengan …. (191), Tak juga kepenatan ….(192), Tak henti memamerkan kecantikan ….(233), Tak pula fitrah seorang wanita ….(234 ), dan lain-lain.
2. Pengulangan kata “emak” lebih dari 50 dalam novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura”. Emak dalam bahasa Indonesia berarti ibu atau orang tua perempuan.
Emak dulu sehat, setidaknya setahun yang lalu saat kutemui. (9), Emak pun tak punya uang banyak untuk menyekolahkan anak-anaknya. (9), Emak yang dulu lincah, …. (10), Emak memang tampak letih diusianya . (11), Emak juga tertawa riang, ….(11), Emak tentu sama seperti emak-emak yang lainnya. (11), Emak selalu tampak merenung dan melamun. (12), Emak butuh luapan cinta dan kasih sayang …, (12), Emak tak butuh uang karena yang dibutuhkannya …, (12), Emak….(12), Emak dulu pernah sulit melepaskan aku ….(12), Emak yang sebelum ini rapuh, (175), Emak juga bercerita seraya (176), Emak kembaliberkata …. (178 ) dan lain-lain.
3. Pengulangan kata “dan” di awal kalimat seolah-olah merangkaikan kalimat itu dengan kalimat sebelumnya atau kalimat majemuk yang dipisahkan. Padahal kalau kita perhatikan tidak semua konsep itu bisa dipakai. Mengapa konsep itu seakan-akan berlaku secara keseluruhan? Hal itu dikarenakan kata “dan” pada kalimat majemuk salah satu kata penghubung yang digunakan.
Dan, bukankah seorang anak akan suka mengasihi kalaulah tumbuh dengan kasih sayang? (4), Dan, Emak pula pernah menangis karena janjiku….(12), Dan, perlahan aku semakin terlupakan. (33), Dan juga induknya perubahan….(109), Dan melihat adanya gairah….(194), Dan jika anak tersebut tumbuh ….(200), Dan dilihatnya begitu….(207),
4. Pengulangan kata “dengan”, di awal kalimat.
Dengan sapaan itu aku memanggilnya. (10), Dengan kekurangannya, ia memang tak mammpu lagi menjemputku ke Bandara. (11), Dengan terampil,selapis-demi selapis….(20), Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya. (26), Dengan kebesaran hati dan jiwa, (28), Dengan kebesaran hati dan jiwa, (22), Dengan tangan digenggam oleh ratu, (32), Dengan terus meneru menghadirkan…, (34), Dengan wajah merah dan degus nafas kaindahan, (54), Dengan cacat tubuhnya, (13), Dengan kasih sayang selalu…, (127), Dengan kegelapan aku berlari….9127), Dengan cacat tubuhnya….(133), Dengan tertatih-tatih, (168), Dengan penampilan fisiknya….(199), dan lain-lain.
B. Pengulangan kata-kata di tengah kalimat
Selain pengulangan kata-kata di awal kalimat, novelis juga mengulang kata di tengah kalimat, contoh: kasih sayang.
Namun pelukan kasih sayang meredakan tangisan.(4)
…harus kehilangan kasih sayang diusiaku yang tua. (55)
Emak perlu luapan dan kasih sayang dari anak-anaknya, (12)
Melepas rindu dalam belai kasih sayang dan mendengar indahnya ceritamu, (14)
Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya. (26)
2. Gaya Bahasa
1. Personifikasi
Gaya kiasan yang mengumpamakan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
Contoh personifikasi dalam novel
1. Daun semanggi pun berayun-ayun.(31)
2. Debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai.(94)
3. Dan lai-lain
2. Hiperbola
Hiperbola adlah sejenis ungkapan untuk menyatakan hal atau peristiwa dengan cara melebih-lebihkan lukisan agar lebih menarik perhatian.
Contoh dalam novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura:
1. Berjuta impian tentang keluarga ….(234)
2. Sementara beribu wajah lainnya….(95)
3. Dan lain-lain
3. Repetisi
Repetisi dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada sebuah konteks yang sesuai. Hasil analisis terhadap novel “Sapa Cinta dari Negeri Sakura” terdapat repetisi:
1. kuatkan hati, tegar dan tegar.
2. Begitu mahal uang pangkal, uang SPP, uang seragam, uang buku, uang kegiatan, dan lain-lain.
Kata yang bercetak tebal, itulah kata yang direpetisi untuk memperjelas pentingnya sebuah kata pada tuturan maka sebuah kata pada tuturan maka satuan lingual kata tegar diulang, begitu juga dengan kata uang yang diulang sebanyak empat kali.
4. Antonimi
Antonimi adalah satu lingual yang berlawanan, disebut juga dengan istilah oposisi. Contoh antonimi yang terdapat dalam novel:
Bau wangi menyeruah.
5. Sinonimi
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal guna mendukung kepaduan wacana. Sinonimi dipakai untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Contoh sinonimi yang terdapat dalam novel:
1 .Gersang dan kering kerontang
2. Kuatkan hati, tegar dan tegar.
Gersang bersinonom dengan kering kerontang dan kuatkan hati bersinonim dengan tegar.
BAB III
STILISTIKA CERPEN
A. Pengertian Stilistika Cerita Pendek
Stilistika cerita pendek adalah penggunaan bahasa dalam cerita pendek. Ceria pendek ini adalah bagian cerita fiksi atau cerita rekaan. Oleh karena itu, focus stilistika cerita pendek, bagaimanakah penggunaan bahasa dalam cerita pendek, yang digunakan oleh cerpenis, apakah cirri-ciri bahasa cerita pendek, apa saja komponen stil cerita pendek, bagaimanakah hubungan bahasa dengan cerita pendek.
B. Komponen Stil Cerita Pendek
Komponen stil cerita pendek ini meliputi: a). unsur leksikal; b). unsur gramatikal; c). unsur retoroka; d). unsur kohesi; dan e). unsur percakapan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu sengaja dipilih dalam cerita pendek oleh cerpenis. Disi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam cerpen Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bias jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpangan namun memiliki efek memperjelas makna. Tentang kata-kata perhatikan kembali bab 3 komponen stil sastra.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal maknanya sama dengan struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kaklimat ini akan dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Cerpenis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsure tertentu. Semua dilakukan demi efek estetis disamping menekankan pesan tertentu. Penekanan pada hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau foregraunding.
Berbagai analisis cerita pendek dapat dilaksanakan. Unsur kalimat itu berupa (1). Kompleksitas kalimat; (2). Jenis kalimat; (3). Jenis klausa dan frosa.
Semua kalimat ini untuk memperjelas makna atau penekanan terhadap makna tertentu.
C. SINOPSIS CERPEN “Lelaki dari Neraka”
Lelaki dari Neraka
Tiba-tiba saja lelaki itu menyeruak masuk lagi ke dalam hidupku. Suara baritonnya di ujung telepon pagi ini membuatku sesak napas sekaligus membuyarkan hari yang semestinya lapang dan ringan ini.
Kami berjumpa pada sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas podium dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis mahasiswa terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya menjulang, kerap disebut dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke banyak pulau yang jauh.
Pidato singkat perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang pidato perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu! Dialah bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu.
Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan. Paparannya tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien.
Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam ingatanku memegang dahiku.
”Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke dokter,” lanjutnya. Lebih mirip gumaman.
Lalu, selebihnya terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek.
Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah kota, tak jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan serangkaian seminar nasional hari-hari itu.
Demam tinggi itu menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga dengan amat segera kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat.
Yang aku sangat ingat, dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang tanganku sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan kata-kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan getaran-getaran aneh, melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku.
Hari-hari yang tersisa kemudian adalah hari-hari kami.
”Pembicara dan materi seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya mendengarkan. Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
”Dan tak bermutu,” katanya lagi.
Maka, kami pun membolos dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri Malioboro. Berkeliling Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di sepanjang sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan. Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka.
Bagiku, hari-hari membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku.
Selepas ciuman pertama kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor ekonomi politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil.
”Pembangunan Jepang sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja kapitalisme sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik. Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut berhadapan dengan kapitalisme internasional. Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen kegagalan pembangunan,” kuliahnya berapi-api.
Di depan orang utan Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan kekaguman tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko kemudian berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak habis-habis.
Yogyakarta hari-hari itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan anehnya menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan.
Lelaki itu memang berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula, mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa, tiba-tiba diangkat naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut.
Diam-diam lelaki itu berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh bagian hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh terasa panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal para penghuninya mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung Bulaksumur. Sungguh sulit kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan atau sekadar perbincangan panjang, jadilah dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku.
Di hari perpisahan kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya menggetarkan ulu hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa menggantung di atas stasiun Tugu petang itu.
Aku benar-benar menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah jatuh cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar.
Lututku bergetar hebat. Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah ditelan tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku terbawanya serta.
Tapi, sejarah kami dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung.
Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi sepotong pun kabar darinya.
Yang kutahu bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai kekuasaan Orde Baru, nama harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara baritonnya akrab menggauli telinga siapa saja hingga ke dusun-dusun di pedalaman. Karier politiknya melejit.
Aku sendiri harus menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap tamat dan usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang mengiris-iris.
Lima tahun penantian tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di kepalaku. Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga, pemujaan, dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang bajingan tengik tak punya tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.
Sejarah pendek itu makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya kemudian adalah menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan lelaki itu memang berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku pada sebuah pagi biasa. Kini, aku telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan satu jagoan kecil.
Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan napas memburu.
”Ibu! Ibu! Ada telepon! Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang.
Semacam rasa waswas yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang tengah.
”Selamat pagi Ibu. Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan bicara,” suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah tangan.
”Selamat pagi Dyah. Ini saya. Apa kabar?”
Suara bariton itu menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.
D. ANALISIS CERPEN “Lelaki dari Neraka”
1. Sinonimi
Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal guna mendukung kepaduan wacana. Sinonimi dipakai untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin.
Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya
2. Antonimi
Antonimi adalah satu lingual yang berlawanan, disebut juga dengan istilah oposisi. Contoh antonimi yang terdapat dalam cepen
…dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin.
Kata berat merupakan lawan kata dari ringan
3. Gaya Bahasa
1. Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Artinya bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu ia memerlukan usaha secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu penggunaan kata-kata seperti,bagai(kan), bak, seumpama, laksana,dan sebagainya. Kadang-kadang diperoleh pula persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang hendak dibandingkan. Contoh simile dalam cerpen “Lelaki dari Neraka”
Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
Pidato yang sedang berlangsung disamakan dengan khotbah.
2. Hiperbola
Hiperbola adlah sejenis ungkapan untuk menyatakan hal atau peristiwa dengan cara melebih-lebihkan lukisan agar lebih menarik perhatian.
Contoh
yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.
Ia melebih-lebihkan dengan kata-kata tiap pagi, siang atau petang. Kalau kita lihat dari kata-kata yang membentu kalimat seolah-olah setiap saat ia mendoakan laki-laki itu agar masuk neraka.
BAB IV
STILISTIKA PUISI
A. Pengertian Stilistika Puisi
Stilistika puisi adalah telaah penggunaan bahasa dalam puisi. Oleh karena itu yang menjadi focus dalam stilistika puisi adalah bagaimanakah penggunaan bahasa dalam puisi-puisi penyair, apakah cirri bahasa dalam puisi (bahasa puisi) apa sajakah unsure/komponen stilistika puisi, bagaimanakah hubungan bahasa dengan puisi?
B. Komponen Stilistika Puisi
a. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Misalnya : lagu, melodi, irama. Bunyi di di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu memperdalam ucapan, menimbulkan rasa dan menimbulkan bayangan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesusastraan, bunyi ini pernah menjadi kepuitisan yang utama dalam sastra romantic, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Slametmuljana, 1956:56). Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821-1867). Salah seorang simbolis, Paul Varlaine (1844-1896) berkata bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi(De la musique avant chose). Para penyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka.
Menurut teori simbolisme (Slametmuljana, 1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarah puisi sedakat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya. Misalnya dapat dilihat dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar yang mempergunakan lambing-lambang yang memberi sugesti kepada kenyataan hidup (di Indonesia) yang sebenarnya.
Kita tidak dapat menangkap kenyataan hidup sebenarnya kecuali hanya sugesti-sugesti tentang kehidupan yang menyedihkan, penuh kesukaran, dan keburukan, tanpa perubahan: hidup yang terbaring mati – musim yang mengandung luka.
Menurut teori simbolisme, tugas puisi adalah mendekati kenyataan ini, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Baik dalam aliran simbolisme maupun romantic arti kata terdesak oleh bunyi atau suara. Dengan begitu, kesusastraan telah kemasukan aliran seni musik (Slametmuljana, 1956:59).
b. Irama
Hal yang masih erat berhubungan dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gemercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa asingnya rhythm (ing.), rhytme (Pr.), berasal dari kata Yunani, reo, yang berarti riak air. Gerakan-gerakan air, riak air adalah gerakan yang teratur, terus menerus tidak putus-putus. Itulah barangkali setiap gerak yang teratur disebut reo (gerakan air mengalir), menjadi ritmos, Rhytmus (L), kemudian menjadi rhythm, rhytme, ritme (Ind.).
Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur. Irama ini tidak terbatas hanya pada kesusastraan, tetapi juga dalam seni rupa: lukis, patung, bangunan dan sebagainya. Lebih-lebih dalam seni musik (nyanyian). Bahkan semua yang teratur itu disebut irama atau berirama.
Sesungguhnya irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, tetapi hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Pada umumnya puisi Eropa mempergunakan dasar metrum. Metrum itu banyak macamnya. Misalnya metrum jambis. Tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan (v-). Misalnya yang berikut ini
/v- /v- /v- / v- /
My heart is like a sing-ing bird
/v- /v- /v- / v- /
Whos nest is in a watered shoot (Altenbernd, 1970:36)
Metrum anapest, tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan, kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (v v-).
vv- /vv- / vv- / vv-
For the mon never beams without bringing me dreams
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee
vv- /vv- / vv- / vv-
and the stars never rice but I feel the bright eyes
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee (Altenbernd, 1970:38)
Metrum trochee atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan.
/v- /v- /v- / v- /
There they are my fif – ty men and wo-men
/v- /v- /v- / v- /
Na-ming me the fif-ty poems finished
(Altenbernd, 1970:38)
Dalam kesusastraan Jawa Kuno, Kakawin, kita kenal sajak-sajak yang bermetrum. Kita kenal kaki sajaknya terdiri dari kombinasi dua macam suku kata yang panjang atau berat disebut guru, sedangkan suku kata yang bertekanan ringan atau pendek disebut laghu.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena peluang bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sintakis: gatra atau kelompok kata.
Untuk menyelidiki irama ini agak sukar sebab dalam puisi tidak tampak jelas seperti pada musik, disebabkan kata-kata yang jumlah suku kata serta tekanan tidak pasti. Namun, irama puisi dapat kita rasakan dengan hal-hal yang telah disebabkan tadi. Dalam puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada, kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap.
c. Kata
Satuan arti yan menentukan structural formal linguistic karya sastra adalah kata. Dalil sastra J. Elema menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan kedalam kata (Slametmuljana, 1956:25). Untuk mencapai ini pengarang mempergunakan berbagai cara. Terutama alatnya yan terpenting adalah kata.
Dalam pembicaraan ini akan ditinjau arti kata dan efek yang akan ditimbulkannya. Diantaranya arti denotative dan kono tatif, perbendaharaan kata (kosa kata), pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, factor ketata bahasaan dan hal-hal yan berhubugnan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi yang semuanya itu dipergunakan oleh penyair untuk melahirkan pengamalan jiwanya dalam puisi-puisinya.
Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair , oleh slametmuljana disebut kata berjiwa (1956:4) yang tidak sama (artinya) dengan kata dalam kamus. Yang masih menunggu pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu singkatnya, kata berjiwa sudah diberi sesuasana tertentu. Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika, sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dari yang alin disebut Leksikografi. Kata berjiwa sudah tetap artinya, sudah mengandung jelmaan rasa dan penciptanya ( Selametmuljana, 1956:25). Penempatan kata yang mengakibatkan gaya kalimat disamping ketepatan pemilihan kata, memeran peranan penting dalam penciptaan sastra. Dramatika yang membicarakan efek dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata disebut tata bahasa stilistika , sedang yang lain membicarakan kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normatik.
d. Kosa Kata
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan dalam bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata. Segala kemungkinan diluar kata tidak dapat dipergunakan (Slametmuljana, 1956:7), misalnya mimic, gerak dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat yan gdiperlukan. Juga diperbedaan arti dan rasa, sekecil-kecilnya pun harus dikusai pemakainya. Sebab itu pengetahuan tentang lesikografi sastrawan syarat mutlak. Pernah dalam salah satu ceramahnya W.S Rendra menganjurkan para penyair untuk selalu meliha arti kata dalam kamus, seperti ia sendiri selalau melihat kamus bahasa dengan tekun untuk mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Dengan demikian, tak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya berbeda dengan bahasa masyarakat. Bahkan puisi akan mempunyai nilai abadi bila didalmnya sastrawan berhasil mempergunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Seseungguhnya sesuatu anggapan salah bahwa para penyair mempunyai bahasa khusus hanya untuk sastrawan saja. Terlepas dari perbendaharaan bahasa umum.
e. Pemilihan Kata
Penyair hendak mencurahkan perasaan isi pikirannya daengan setepan-tepatnya seperti dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam kata disebut diksi.
Barfield mengemukakan bahwa bila kat-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sademikian rupa hinga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajenasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (1952:41). Jadi diksi itu untuk mendapatakan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia dapat memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaran dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbrend, 1970:9). Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat.
f. Denotasi dan Konotasi
Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Dalam memilih kata supaya tepat dan menimbulkan gambaran yang jelas dan padat itu penyair mesti mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata.
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahan. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebut, kata atau diceritakan (Altenbrend, 1970:9). Bahasa yang denotative adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjukkan satu hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca puisi orang harus mengerti arti kamusnya. Arti denotative, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
g. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, meskipun bermacam-macam mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan susuatu yang lain (Altenbrend, 1970:15).
Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah :
a. perbandingan (simile)
b. metafora,
c. Perumpamaan epos (epic smile)
d. Personifikasi,
e. Metonimi
f. Sinekdoki ((synecdoche)
g. Allegori
C. SINOPSIS PUISI “PETANI SEDIH DI UJUNG HARI”
PETANI SEDIH DI UJUNG HARI
Bila tanah sudah lagi tak bertuah
Kemarau memaksa hujan menyiksa
Petani murung dimana-mana
Hidup sesak pilu gulana
Hasil panen tak berarti
Harga meninggi
Kantong tak lagi bertepi
Jalan-jalan rusak memerih
Hasil panen mesti dibeli
Dulu padi-padi menyubur berseri
Datu-datu mengerti apa itu hari
Untuk member pada ilahi
Di lembar berlalu
Pesta panen bisa berderu-deru
Bersama tarian tor-tor gondang bertalu.
Oh tarianku, kenapa kau berubah benci ?
petani sedih di ujung hari
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup, apa lagi.
Nyanyian suara pedati merintih-rintih
pematang sawah semakin mati
oh begitu ngeri.
hancur badan keringlah tulang
hidup bagaikan ditepi jurang
silap-silap bisa terbuang
tanaman terikam badai meradang
Ketika petang menjelang
Anak-anak bertanya jalang
membuat hati jadi bimbang.
guru bilang,
negeri kita kaya membentang
namun kenapa hidup terasa terbuang
guru bilang,
di tanah negeri tersimpan emas batangan
namun kenapa hidup jadi malang
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup , apa lagi.
sudahlah nak tidurlah nyenyak
banyak retak tak mesti dielak
hidup takkan bergerak
bila pijak hanya lurus tegak
manusia meningkah
alam resah gelisah
tanah tak lagi bertuah
hanya dalam doa
petani gembira
dalam mimpi terjaga
tutur agama tersiram ke jiwa
dulu padi-padi menyubur berseri
datu-datu mengerti apa itu hari
untuk memberi pada Ilahi
di lembar berlalu
pesta panen bisa berderu-deru
bersama tarian tor-tor gondang bertalu.
sudahlah nak tidurlah nyenyak
banyak retak tak mesti dielak
hidup takkan bergerak
bila pijak hanya lurus tegak
AHMAD PARMONANGAN NST
2007
D. ANALISIS PUISI “PETANI SEDIH DI UJUNG HARI”
1. Ahmad Parmonangan Nst. Menggunakan pola-pola sajak dan pantun, tetapi dengan variasi baru.
akar masalah tak ditemui
semua gigit jari
lalu sepi menari-mari.
Oh hidup, apa lagi.
2. Dalam puisi “Petani Sedih di Ujung Hari” juga terdapat repetisi
Repetisi atau perulangan merupakan salah satu jenis aspek leksikal yang berupa perulangan unsur wacana yang dianggap paling penting untuk member tekanan dalam sebuah konteksyang sesuai.
Misalnya mengulang kata petani, guru bilang, guru bilang, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan kata-kata tersebut penting untuk ditekankan.
3. Gaya Bahasa
Penyair banyak menggunakan gaya bahasa , contoh:
Ironi adalah suatu ekspresi maksud dengan menggunakan sesuatu yang berlawanan secara langsung pada pikiran kebenaran agar agar orang yang dituju tersindir secara halus tetapi tajam untuk memeksa mengubah sikap atau pendiriannya.
guru bilang,
negeri kita kaya membentang
namun kenapa hidup terasa terbuang
guru bilang,
di tanah negeri tersimpan emas batangan
namun kenapa hidup jadi malang
Cuplikan di atas salah satu contoh Ironi. Ironi adalah suatu ekspresi maksud dengan menggunakan sesuatu yang berlawanan secara langsung pada pikiran kebenaran agar agar orang yang dituju tersindir secara halus tetapi tajam untuk memeksa mengubah sikap atau pendiriannya.
Dari cuplikan di atas, penyair mempumyai maksud agar pemerintah kita mengubah sikap atau pendiriannya, karena alam kita yang sangat terkenal melimpah, yang mempunyai SDA yang sangat luar biasa, tetapi rakyatnya sangat menderita. Kita tidak bisa menikmati kekeyaan alam tersebut,kekayaan itu hanya dinikmati segelintir orang yang ada di atas. Bagaimana mungkin, di Negara yang hasilnya melimpah ruah tetapi banyak yang tidak makan?, bagaimana mungkin di Negara yang di anugerahkan Allah fotensi yang sangat luar biasa, tetapi begitu kita lahir lahir sudah dibebani hutang?, bagaimana mungkin hidup di Negara penghasil bahan bakar, tetapi untuk mendapat bahan bakar sulit dan harus membelinya dengan harga yang cukup mahal?
DAFTAR PUSTAKA
Dufa, Abu. 2005. “Sapa Cinta Dari Negeri Sakura”. Pena Pundi Aksara. Jakarta
Sumber Dari : http://www.kompas.com
Parmonangan NST, Ahmad. 2007. “Petani Sedih di Ujung Hari”, dalam “Medan Puisi”.
Laboratorium Sastra Medan. Medan
Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. USU Press. Medan
Barus, Sanggup. 2008. Keterampilan Menulis. UNIMED. Medan
Komentar
Posting Komentar
setelah berkunjung jangan lupa tinggalkan komentar..
Terima Kasih atas kunjungannya.. salam dari Ramlan & Ari