Pengertian Bahasa Jurnalistik
Pengertian bahasa jurnalistik, dengan demikian harus berpedoman kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Menurut Dewabrata, penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata
yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata
yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan (Dewabrata, 2004:23).
yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata
yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan (Dewabrata, 2004:23).
Dalam penulisan berita, wartawan kerap menggunakan bahasa jurnalistik yang sesuai dengan karakter (gaya) tulisannya. Untuk penulisan berita di dalam media massa, bahasa jurnalistik disesuaikan dengan jenis beritanya. Misalnya, untuk penulisan berita investigasi, biasanya wartawan menggunakan bahasa jurnalistik reportase, sedangkan untuk penulisan artikel tokoh atau tulisan ringan, bisa menggunakan bahasa jurnalistik features.
Rosihan Anwar, wartawan senior terkemuka, menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jumalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-¬sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Dia juga harus memper¬hatikan ejaan yang benar. Dalam kosa kota, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat (Anwar, 1991:1).
Menurut S. Wojowasito dari IKIP Malang dalam. Karya Latihan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (KLW PWI) di Jawa Timur (1978), bahasa jumalistik adalah bahasa komunikasi massa seperti tertulis dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal, sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian, bahasa jumalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar dan pilihan kata yang cocok (Anwar, 1991:1-2).
Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya karena tidak semua orang mempunyai cukup waktu untuk memahami isi tulisan yang ditulis oleh wartawan. Jadi, bahasa jurnalistik bahkan harus bisa dipahami oleh tingkat masyarakat berintelektual rendah. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyambung lidah masyarakat dan bahasa komunikasi pengantar pemberitaan yang biasa digunakan media cetak dan elektronik.
Hal itu ditegaskan pula oleh pakar bahasa terkemuka dari Bandung JS Badudu, bahwa bahasa jumalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarak yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar,1991:2).
Daryl L. Frazel dan George Tuck, dua pakar pers Amerika dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Jour¬nalist (1996:122-123), menuliskan bahwa pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam me¬dia massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus.Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu penge¬tahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan, tentang hubungan internasional kepada mereka yang bukan diplomat, dan masalah-masalah politik kepada para pemilih yang awam (to explain science to nonscientists, international relations to nondiplomats, and politics to ordinary voters) (A.M. Dewabrata 2004:20).
Berbeda dengan bahasa sinetron yang sering asosial, akultural, egois dan elitis, bahasa jurnalistik justru sangat demokratis dan populis, karena dalam bahasa jumalistik tidak dikenal istilah tingkat, pangkat, dan kasta. Sebagai contoh, ayam berjalan, saya berjalan, guru berjalan, gubernur berjalan, menteri berjalan, presiden berjalan. Semua diperlakukan sama, tidak ada yang diistimewakan atau ditinggikan derajatnya. Disebut populis, karena bahasa jurnalistik menolak semua klaim dan paham yang ingin membedakan si kaya dan si miskin, si tokoh dan si awam, si pejabat dan si jelata, si pintar dan si bodoh, si terpelajar dan orang yang kurang ajar. Bahasa jurnalistik diciptakan untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa, di gunung dan di lembah, di darat dan di taut. Tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang dianakemaskan atau dianaktirikan oleh bahasa jurnalistik.
Bahasa berita atau laporan surat kabar, tabloid, majalah, radio, televisi, dan media on line internet yang tidak akrab di mata, telinga, dan benak khalayak, tidak layak disebut bahasa jurnalistik, bahkan harus jelas ditolak sebagai bahasa jurnalistik. Menurut George Orwell, bahasa jumalistik bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa jurnalistik juga merupakan bagian dari kcgiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada kondisi rill, terkait dengan isi pemberitaan. Bahasa (baik dalam bentuk huruf dan gambar), memiliki kekuatan, pertentangan, pergulatan. Selain itu, bahasa jurnalistik adalah senjata sekaligus penengah, racun sekaligus obat, penjara sekaligus jalan keluar, dalam wacana berita.
Bahasa jurnalistik juga memiliki kekuatan dahsyat dalam membentuk perilaku pembaca. Bahasa jumalistik di dalam pemberitaan jangan hanya memfokuskan diri pada upaya menarik perhatian khalayak pada masalah tertentu. Bahasa setidaknya dapat membatasi persepsi dan membantu pembaca memikirkan sesuatu yang diyakininya. Misalnya, pernyataan keras dari elit politik atau korban konflik di lapangan bisa membakar emosi atau sebaliknya, sejuk dan mcnenteramkan, tergantung pada cara wartawan memformat isi dan bahasa yang dipergunakannya. Selain itu, bahasa juga bisa mendominasi pemberitaan, baik berita politik atau ekonomi dan sebagainya. Bahasa bisa meredam tindak kekerasan.
Saat ini bahasa jurnalistik mulai beragam digunakan untuk menulis berita ekonomi, politik ataupun tajuk rencana, disesuaikan dengan angle tulisan, sumber berita dan keterbatasan media massa, baik cetak atau elektronik (ruang dan waktu). Dalam penggunaannya, menurut JS Badudu, bahasa jurnalistik memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik, serta tetap berpedoman pada kaidah bahasa Indonesia baku. Jadi, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis berita dan memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
A.M. Dewabrata menegaskan bahwa maksud pernyataan bahasa jurnalistik sebagai ragam Bahasa Indonesia bagi wartawan dalam menulis berita, sebenarnya menunjuk pengertian umum yang membedakan dengan ragam lainnya yang dapat dibedakan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, dan kata-kata (A.M. Dewabrata, 2004: 22).
Pada uraian lebih lanjut tentang bahasa jurnalistik, seperti dijelaskan dalam konten blog ini, membahas tentang kalimat atau kesatuan paling kecil yang mempunyai makna dalam penyampaian berita. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat sebagai kata benda adalah “kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan”. Jadi lewat kalimatlah pesan komunikasi disampaikan.
Dalam susunan teks berita, ragam bahasa jurnalistik yang baik biasa ditandai dengan kalimat-kalimat yang memiliki jumlah kata sedikit, karena kalimat yang memiliki jumlah kata banyak sering sulit dipahami maksudnya. Kadang pesan berita hanya berwujud satu kata pendek: “Camkan!”, “Membosankan!” atau “Dengar?”. Tanda lain bahasa jurnalistik yang baik ialah kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari awal sampai akhir, tidak menggunakan susunan yang kaku dan formal yang sulit dicerna.
Kepandaian wartawan menggunakan kata (diksi) dan memainkan konotasi ketika menyususn kalimat, sangat mempengaruhi jelas-tidaknya pesan yang disampaikan. Hukum DM (diterangkan dan menerangkan) atau lebih luas adalah “bagian yang dijelaskan” dan “bagian yang menjelaskan” harus diatur dengan cermat letaknya. Dengan menggunakan kalimat yang tersusun sesuai ragam jurnalistik, wartawan bisa menuntun pembaca memahami berita setepat dan seakurat mungkin seperti pesan yang dikehendakinya.
Dengan kata lain, seorang wartawan dituntut terampil menyampaikan berita sebagai alat untuk menarik perhatian pembaca terhadap suatu peristiwa yang dia lihat memiliki nilai berita. Di samping itu AS Haris Sumadiria mencatat berdasarkan fungsi bahasa secara umum, bahasa jurnalistik berfungsi sebagai: 1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri; 2) Alat komunikasi; 3) Alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; serta 4)Alat melaksanakan kontrol sosial (Sumadiria, 2006: 8).
Komentar
Posting Komentar
setelah berkunjung jangan lupa tinggalkan komentar..
Terima Kasih atas kunjungannya.. salam dari Ramlan & Ari