Bahasa, Belajar dan Pengajaran Bahasa
A. BAHASA
1.1. Hakikat Bahasa
Aitchinson (2003: 13) mendefinisikan bahasa sebagai sistem bunyi khusus yang terprogram secara genetik untuk berkembang pada diri manusia. Hal ini sesuai dengan teori Universal Grammar Chomsky yang menyatakan bahwa manusia telah terprogram dengan pengetahuan dasar tentang bahasa dan bagaimana cara kerjanya. Manusia terlahir dengan perangkat bahasa yang dikenal dengan Language Acquisition Device (LAD) yang memungkinkan manusia menguasai dan memproduksi bahasa.
1.1. Hakikat Bahasa
Aitchinson (2003: 13) mendefinisikan bahasa sebagai sistem bunyi khusus yang terprogram secara genetik untuk berkembang pada diri manusia. Hal ini sesuai dengan teori Universal Grammar Chomsky yang menyatakan bahwa manusia telah terprogram dengan pengetahuan dasar tentang bahasa dan bagaimana cara kerjanya. Manusia terlahir dengan perangkat bahasa yang dikenal dengan Language Acquisition Device (LAD) yang memungkinkan manusia menguasai dan memproduksi bahasa.
Menurut Kridalaksana dalam Chaer (2007: 32), ”Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Tak jauh berbeda dengan definisi bahasa menurut Dardjowidjojo (2008: 16) yaitu, “Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama”.
Djojosuroto dalam bukunya Filsafat Bahasa (2007: 61 & 62) merincikan bahasa sebagai berikut:
1. Kumpulan kata kata, arti kata kata yang standar, dan bentuk bentuk ucapan yang digunakan sebagai metode komunikasi.
2. Cara apa saja yang menyatakan isi isi kesadaran (rasa perasaan, emosi, keinginan, pikiran) dan pola arti yang konsisten.
3. Kegiatan universal insani untuk membentuk sistem tanda tanda sesuai dengan aturan aturan asosiasi yang diterima umum.
4. Bentuk bentuk ucapan manusia yang dikondisikan secara historis dan sosial. Hal ini berkaitan dengan bahasa bahasa tertentu.
5. Sistem simbol simbol yang dapat digunakan untuk menyatakan atau menerangkan hal hal seperti (1) objek material eksternal; (2) hal mental internal; (3) kualitas.
Sedangkan Brown (2007: 6) membuat definisi gabungan tentang bahasa yang tak lebih dari 25 kata, yaitu:
1. Bahasa itu sistematis.
2. Bahasa adalah seperangkat simbol manasuka.
3. Simbol simbol itu utamanya adalah vokal, tetapi bisa juga visual.
4. Simbol mengonvensionalkan makna yang dirujuk
5. Bahasa dipakai untuk berkomunikasi
6. Bahasa beroperasi dalam sebuah komunitas atau budaya wicara.
7. Bahasa pada dasarnya untuk manusia, walaupun bisa jadi tak hanya terbatas untuk manusia.
8. Bahasa dikuasai oleh semua orang dalam cara yang sama.
Dari berbagai definisi bahasa yang dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu sistem bunyi berupa simbol manasuka yang terprogram pada diri manusia yang digunakan untuk berinteraksi dengan suatu masyarakat pengguna bahasa.
1.2. Ciri Ciri Bahasa
Dari beberapa definisi bahasa di atas, dapat dijabarkan ciri ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Ciri ciri ini jugalah yang membedakan bahasa manusia dengan komunikasi pada binatang. Dengan kata lain, walaupun binatang juga menghasilkan bunyi untuk berkomunikasi dengan kawanannya, bunyi tersebut bukanlah bahasa. Berikut uraian lebih rinci tentang ciri ciri bahasa dari berbagai sumber.
1) Bahasa sebagai Sistem
Bahasa terdiri dari pola yang berarti. Bahasa manusia bukan sekumpulan kata yang diucapkan atau dituliskan secara sembarang melainkan dengan susunan dan aturan tertentu yang membentuk suatu kesatuan yang bermakna. Dengan kata lain, pengoperasian bahasa adalah structure dependant, artinya tergantung pada struktur internal kalimat daripada jumlah elemen yang tercakup di dalamnya. (Aichinson: 2003:20). Jadi, sebanyak apa pun morfem yang ada dalam kalimat, kalimat dapat diterima selama diucapkan atau dituliskan sesuai dengan struktur yang benar.
Contoh: a. Adik sedang menggambar di ruang belajar.
b. Belajar sedang menggambar di ruang belajar adik.
Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita akan mengetahui bahwa kalimat (b) bukanlah kalimat yang baik dan benar karena tidak tersusun sesuai dengan kaidah kalimat bahasa Indonesia seperti kalimat (a). Kalimat (b) juga tidak dapat menyampaikan arti sejelas kalimat (a).
Dari beberapa definisi bahasa di atas, dapat dijabarkan ciri ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Ciri ciri ini jugalah yang membedakan bahasa manusia dengan komunikasi pada binatang. Dengan kata lain, walaupun binatang juga menghasilkan bunyi untuk berkomunikasi dengan kawanannya, bunyi tersebut bukanlah bahasa. Berikut uraian lebih rinci tentang ciri ciri bahasa dari berbagai sumber.
1) Bahasa sebagai Sistem
Bahasa terdiri dari pola yang berarti. Bahasa manusia bukan sekumpulan kata yang diucapkan atau dituliskan secara sembarang melainkan dengan susunan dan aturan tertentu yang membentuk suatu kesatuan yang bermakna. Dengan kata lain, pengoperasian bahasa adalah structure dependant, artinya tergantung pada struktur internal kalimat daripada jumlah elemen yang tercakup di dalamnya. (Aichinson: 2003:20). Jadi, sebanyak apa pun morfem yang ada dalam kalimat, kalimat dapat diterima selama diucapkan atau dituliskan sesuai dengan struktur yang benar.
Contoh: a. Adik sedang menggambar di ruang belajar.
b. Belajar sedang menggambar di ruang belajar adik.
Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita akan mengetahui bahwa kalimat (b) bukanlah kalimat yang baik dan benar karena tidak tersusun sesuai dengan kaidah kalimat bahasa Indonesia seperti kalimat (a). Kalimat (b) juga tidak dapat menyampaikan arti sejelas kalimat (a).
By treating language as system, we are merely acknowledging that each
unit of language, from a single sound to a complex word to a large
text, spoken or written, has a character of its own, and each is, in
some principled way, delimited by and dependent upon its co occurring
units. (Kumaravadivelu : 2006: 4)
Kumaravadivelu menjelaskan bahwa dengan memperlakukan bahasa sebagai
sistem, kita dapat mengenali bahwa tiap unit bahasa, dari bunyi tunggal
sampai kumpulan kata yang kompleks yang membentuk teks, baik lisan atau
pun tulisan, memiliki karakter tersendiri dan masing masing terbatasi
dan bergantung pada unit unitnya.
2) Bahasa sebagai Simbol
Dalam kehidupannya, manusia memang selalu menggunakan lambang atau simbol. Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof mengatakan manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). (Chaer: 2007: 39). Bahasa sendiri adalah sistem lambang dalam wujud bunyi bahasa.
3) Bahasa adalah Bunyi
Bunyi yang dimaksud disini adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa yang pertama kali muncul adalah yang dilisankan (primer), sedangkan bahasa tulis merupakan rekaman atau transkrip dari bahasa lisan (sekunder).
4) Bahasa itu Arbitrer
Arbitrer atau manasuka artinya tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer: 2007: 45). Tidak ada penjelasan mengapa binatang berbelalai disebut “gajah” dan tempat tinggal ternak disebut “kandang”. Namun, lambang bahasa tersebut telah disepakati oleh pengguna bahasa Indonesia. Dengan kata lain bahasa itu konvensional.
5) Bahasa itu Bermakna
Bahasa merupakan lambang. Suatu lambang tentu saja memiliki objek yang dilambangkannya. Seperti disebutkan di atas bahwa “gajah” adalah lambang bahasa untuk hewan berbelalai dan “kandang” adalah lambang untuk tempat tinggal ternak. Lambang lambang ini mengacu pada objek fisiknya yang ada di dunia nyata. ”Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa, ………………. sebab fungsi bahasa adalah menyampaikan pesan, konsep, ide, atau pemikiran”. (Chaer: 2007: 45)
6) Bahasa itu Produktif
Manusia dapat menghasilkan ungkapan baru kapanpun mereka mau. Seseorang dapat mengucapkan kalimat yang belum pernah diucapkan oleh orang lain sebelumnya dan ucapan tersebut tetap dapat dimengerti. (Aitchinson: 2003: 17). Dengan keproduktifan berbahasa, manusia dapat mengatakan kembali atau menyampaikan apa yang didengar dan dibacanya dengan kalimat lain yang baru tetapi tidak mengubah arti (kreatif). Bahasa juga dapat digunakan untuk alasan estetik seperti penciptaan karya sastra.
2) Bahasa sebagai Simbol
Dalam kehidupannya, manusia memang selalu menggunakan lambang atau simbol. Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof mengatakan manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). (Chaer: 2007: 39). Bahasa sendiri adalah sistem lambang dalam wujud bunyi bahasa.
3) Bahasa adalah Bunyi
Bunyi yang dimaksud disini adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa yang pertama kali muncul adalah yang dilisankan (primer), sedangkan bahasa tulis merupakan rekaman atau transkrip dari bahasa lisan (sekunder).
4) Bahasa itu Arbitrer
Arbitrer atau manasuka artinya tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer: 2007: 45). Tidak ada penjelasan mengapa binatang berbelalai disebut “gajah” dan tempat tinggal ternak disebut “kandang”. Namun, lambang bahasa tersebut telah disepakati oleh pengguna bahasa Indonesia. Dengan kata lain bahasa itu konvensional.
5) Bahasa itu Bermakna
Bahasa merupakan lambang. Suatu lambang tentu saja memiliki objek yang dilambangkannya. Seperti disebutkan di atas bahwa “gajah” adalah lambang bahasa untuk hewan berbelalai dan “kandang” adalah lambang untuk tempat tinggal ternak. Lambang lambang ini mengacu pada objek fisiknya yang ada di dunia nyata. ”Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa, ………………. sebab fungsi bahasa adalah menyampaikan pesan, konsep, ide, atau pemikiran”. (Chaer: 2007: 45)
6) Bahasa itu Produktif
Manusia dapat menghasilkan ungkapan baru kapanpun mereka mau. Seseorang dapat mengucapkan kalimat yang belum pernah diucapkan oleh orang lain sebelumnya dan ucapan tersebut tetap dapat dimengerti. (Aitchinson: 2003: 17). Dengan keproduktifan berbahasa, manusia dapat mengatakan kembali atau menyampaikan apa yang didengar dan dibacanya dengan kalimat lain yang baru tetapi tidak mengubah arti (kreatif). Bahasa juga dapat digunakan untuk alasan estetik seperti penciptaan karya sastra.
1.3. Komponen Bahasa
Komponen bahasa ada 3, yaitu:
1) Tata Bahasa (Grammar)
Tata bahasa adalah kaidah kaidah bahasa yang berupa struktur dan aturan aturan yang berlaku pada suatu bahasa. Agar dapat menghasilkan bahasa yang baik dan benar maka seorang pengguna bahasa perlu mempelajari tata bahasa terlebih dahulu. Tata bahasa juga perlu diikuti agar ungkapan yang diproduksi dapat diterima dengan baik atau tidak terjadi salah pengertian.
Contoh: (a) I have sent the assignment. (Saya telah mengirim tugas.)
(b) I have been sent the asssinment. (Saya telah dikirim tugas)
Penutur asli bahasa Inggris akan dengan mudah mengerti kalimat (a) karena struktur kalimat sesuai dengan kaidah bahasa Inggris dan menghasilkan kalimat yang lebih bermakna (masuk akal) dibandingkan dengan kalimat (b).
2) Kosa Kata (Vocabulary)
Kosa kata adalah kumpulan kata dari suatu bahasa. Kosa kata dapat digunakan dalam berkomunikasi antara masyarakat bahasa. Semakin banyak kosa kata yang diketahui, semakin banyak pula ucapan atau kalimat yang dapat diproduksi.
3) Pelafalan (Pronunciation)
Pelafalan adalah cara pengucapan kata kata dalam suatu bahasa. Dalam pelafalan juga termasuk intonasi, jeda, nada, dan penekanan (stressing). Pelafalan juga penting untuk menghindari salah tafsir.
Contoh: Kata ”rebel” dalam bahasa Inggris memiliki dua pelafalan. / / dengan penekanan pada awal suku kata yang berarti pemberontak dan / / dengan penekanan pada suku kata kedua yang berarti memberontak.
Apabila penutur bahasa melafalkan kata tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkannya, atau terjadi kesalahan dalam pelafalan, maka akan terjadi salah pengertian. Pelafalan sangat penting dikuasai oleh penutur atau pembelajar bahasa bernada seperti bahasa mandarin.
Komponen bahasa ada 3, yaitu:
1) Tata Bahasa (Grammar)
Tata bahasa adalah kaidah kaidah bahasa yang berupa struktur dan aturan aturan yang berlaku pada suatu bahasa. Agar dapat menghasilkan bahasa yang baik dan benar maka seorang pengguna bahasa perlu mempelajari tata bahasa terlebih dahulu. Tata bahasa juga perlu diikuti agar ungkapan yang diproduksi dapat diterima dengan baik atau tidak terjadi salah pengertian.
Contoh: (a) I have sent the assignment. (Saya telah mengirim tugas.)
(b) I have been sent the asssinment. (Saya telah dikirim tugas)
Penutur asli bahasa Inggris akan dengan mudah mengerti kalimat (a) karena struktur kalimat sesuai dengan kaidah bahasa Inggris dan menghasilkan kalimat yang lebih bermakna (masuk akal) dibandingkan dengan kalimat (b).
2) Kosa Kata (Vocabulary)
Kosa kata adalah kumpulan kata dari suatu bahasa. Kosa kata dapat digunakan dalam berkomunikasi antara masyarakat bahasa. Semakin banyak kosa kata yang diketahui, semakin banyak pula ucapan atau kalimat yang dapat diproduksi.
3) Pelafalan (Pronunciation)
Pelafalan adalah cara pengucapan kata kata dalam suatu bahasa. Dalam pelafalan juga termasuk intonasi, jeda, nada, dan penekanan (stressing). Pelafalan juga penting untuk menghindari salah tafsir.
Contoh: Kata ”rebel” dalam bahasa Inggris memiliki dua pelafalan. / / dengan penekanan pada awal suku kata yang berarti pemberontak dan / / dengan penekanan pada suku kata kedua yang berarti memberontak.
Apabila penutur bahasa melafalkan kata tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkannya, atau terjadi kesalahan dalam pelafalan, maka akan terjadi salah pengertian. Pelafalan sangat penting dikuasai oleh penutur atau pembelajar bahasa bernada seperti bahasa mandarin.
B. BELAJAR
2.1. Hakikat Belajar
Belajar merupakan unsur yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pendidikan. Berhasil atau gagalnya suatu tujuan pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami siswa. Belajar merupakan perubahan perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil dari pengalaman (Santrock: 2001: 266). Proses perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan atau tingkah laku yang disebabkan oleh suatu pengalaman juga disebut belajar (Woolfolk: 2007: 206).
Menurut Witherington dalam Purwanto (2007: 83) belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian. Hilgard and Bower mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.
Gagne menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan sisi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi. Sementara Reber dalam Syah (2010: 89) membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar merupakan proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat.
Ringkasnya, belajar adalah menguasai atau memperoleh. Belajar juga mengingat informasi atau keterampilan. Belajar melibatkan perhatian aktif-sadar pada dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa di luar serta di dalam organism. Belajar melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang oleh imbalan dan hukuman. Belajar adalah sebuah perubahan dalam perilaku (Brown: 2007: 8).
Dari berbagai definisi diatas dapat dikemukakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku individu yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
2.1. Hakikat Belajar
Belajar merupakan unsur yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pendidikan. Berhasil atau gagalnya suatu tujuan pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami siswa. Belajar merupakan perubahan perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil dari pengalaman (Santrock: 2001: 266). Proses perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan atau tingkah laku yang disebabkan oleh suatu pengalaman juga disebut belajar (Woolfolk: 2007: 206).
Menurut Witherington dalam Purwanto (2007: 83) belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian. Hilgard and Bower mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.
Gagne menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan sisi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi. Sementara Reber dalam Syah (2010: 89) membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar merupakan proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat.
Ringkasnya, belajar adalah menguasai atau memperoleh. Belajar juga mengingat informasi atau keterampilan. Belajar melibatkan perhatian aktif-sadar pada dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa di luar serta di dalam organism. Belajar melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang oleh imbalan dan hukuman. Belajar adalah sebuah perubahan dalam perilaku (Brown: 2007: 8).
Dari berbagai definisi diatas dapat dikemukakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku individu yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
2.2. Teori-teori Belajar
Terdapat beberapa teori besar yang berhubungan erat dengan belajar, yaitu: Teori Behavioral, Teori Kognitif dan Teori konstruktivisme.
a. Teori Behavioral
Menurut pandangan behavioral, belajar merupakan fenomena perilaku yang dapat diobservasi. Belajar sebagai pembentukan atau perubahan tingkah laku disebabkan oleh faktor eksternal. Hal ini menyebabkan seseorang itu menjadi apa dan siapa tergantung pada lingkungannya.
Pendekatan behavioral menekankan arti penting dari bagaimana anak membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku. Ada dua teori perubahan tingkah laku dalam pendekatan behavioristik :
– Classical Conditioning
Pengkondisian klasik yang dicetuskan oleh Pavlov adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan stimuli. Dalam pengkondisian netral dikaitkan dengan stimulus yang bermakna dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama.
Dalam pengkondisian klasik terdapat dua tipe respon, yaitu: Unconditioned stimulus (US) ialah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respons tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu, unconditioned response (UR) ialah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis dihasilkan oleh US, conditioned stimulus (CS) adalah stimulkus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned response setelah diasosiasikan dengan US, dan conditioned response (CR) adalah respons yang dipelajari, yakni response terhadap stimulus yang terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.
Sebagai contoh, percobaan ini dilakukan pada seekor anjing untuk mengetahui respons melalui air liurnya. Berikut ini gambaran eksperimen pengkondisian klasik (Syah: 2010: 105).
Sebelum eksperimen
Pemberian makanan (UCS) Air liur keluar (CR)
Bunyi bel (CS) Tidak ada respons
Eksperimen/Latihan
Bunyi bel (CS) pemberian makanan (UCS)
Setelah eksperimen
Bunyi bel (CS) Air liur keluar (CR)
Terdapat beberapa teori besar yang berhubungan erat dengan belajar, yaitu: Teori Behavioral, Teori Kognitif dan Teori konstruktivisme.
a. Teori Behavioral
Menurut pandangan behavioral, belajar merupakan fenomena perilaku yang dapat diobservasi. Belajar sebagai pembentukan atau perubahan tingkah laku disebabkan oleh faktor eksternal. Hal ini menyebabkan seseorang itu menjadi apa dan siapa tergantung pada lingkungannya.
Pendekatan behavioral menekankan arti penting dari bagaimana anak membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku. Ada dua teori perubahan tingkah laku dalam pendekatan behavioristik :
– Classical Conditioning
Pengkondisian klasik yang dicetuskan oleh Pavlov adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan stimuli. Dalam pengkondisian netral dikaitkan dengan stimulus yang bermakna dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama.
Dalam pengkondisian klasik terdapat dua tipe respon, yaitu: Unconditioned stimulus (US) ialah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respons tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu, unconditioned response (UR) ialah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis dihasilkan oleh US, conditioned stimulus (CS) adalah stimulkus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned response setelah diasosiasikan dengan US, dan conditioned response (CR) adalah respons yang dipelajari, yakni response terhadap stimulus yang terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.
Sebagai contoh, percobaan ini dilakukan pada seekor anjing untuk mengetahui respons melalui air liurnya. Berikut ini gambaran eksperimen pengkondisian klasik (Syah: 2010: 105).
Sebelum eksperimen
Pemberian makanan (UCS) Air liur keluar (CR)
Bunyi bel (CS) Tidak ada respons
Eksperimen/Latihan
Bunyi bel (CS) pemberian makanan (UCS)
Setelah eksperimen
Bunyi bel (CS) Air liur keluar (CR)
– operant conditioning/instrumental conditioning
Pengkondisian operan dinamakan juga pengkondisian instrumental
adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari
perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan
diulangi. Tokoh yang berperan penting dalam pengkondisian operan adalah
B.F Skinner yang berpandangan berdasarkan pandangan E.L. Thorndike.
Dalam pengkondisian operan dikenal hukum efek (law effect) Thorndike yang menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Penguatan (reinforcement) merupakan konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Misalnya, memberikan rewarding kepada murid agar lebih bersemangat dan memberikan hukuman kepada siswa yang melanggar peraturan agar tidak mengulanginya lagi. Namun pemberian hukuman bagi siswa lebih baik dihindari.
Dalam pengkondisian operan dikenal hukum efek (law effect) Thorndike yang menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Penguatan (reinforcement) merupakan konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Misalnya, memberikan rewarding kepada murid agar lebih bersemangat dan memberikan hukuman kepada siswa yang melanggar peraturan agar tidak mengulanginya lagi. Namun pemberian hukuman bagi siswa lebih baik dihindari.
b. Teori kognitif
Pendekatan kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti: motivasi, keyakinan dan sebagainya.
Teori belajar yang berasal dari pandangan kognitif menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Pandangan kognitif melihat pembelajaran sebagai proses aktif dimana peserta didik tidak hanya menerima pengetahuan tetapi juga menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan masalah dan mereorganisasi apa yang mereka sudah tahu untuk mencapai wawasan baru.
Menurut pendekatan kognitif, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dibawa individu kedalam situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian dan fokus kita. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga sebagai jembatan kepada proses belajar berikutnya.
Dapat disimpulkan bahwa teori belajar kognitif menekankan pentingnya kognisi dalam belajar, baik sebagai proses maupun hasil.
Pendekatan kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti: motivasi, keyakinan dan sebagainya.
Teori belajar yang berasal dari pandangan kognitif menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Pandangan kognitif melihat pembelajaran sebagai proses aktif dimana peserta didik tidak hanya menerima pengetahuan tetapi juga menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan masalah dan mereorganisasi apa yang mereka sudah tahu untuk mencapai wawasan baru.
Menurut pendekatan kognitif, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dibawa individu kedalam situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian dan fokus kita. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga sebagai jembatan kepada proses belajar berikutnya.
Dapat disimpulkan bahwa teori belajar kognitif menekankan pentingnya kognisi dalam belajar, baik sebagai proses maupun hasil.
c. Teori Konstruktivisme
Menurut pandangan konstruktivisme sosial, siswa mengkonstruksi pengetahuan dan belajar melalui interaksi sosial. Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama.
Menurut de Kock dkk dalam Woolfolk (2007: 344), konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau teks. Sedangkan, pembelajaran adalah konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal.
Konstruktivisme terbagi dua, yaitu: konstruktivisme psikologi dan konstruktivisme sosial. Konstruktivis psikologi memfokuskan pada bagaimana individu-individu menggunakan informasi, sumber daya dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan meningkatkan model mental dan strategi problem solvingnya, sedangkan kontruktivis sosial melihat belajar sebagai meningkatkan kemampuan kita untuk berpartisipasi bersama orang lain dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya (Windschitl dalam Woolfolk: 2007: 345).
Konstruktivisme sosial menurut Piaget, siswa mengkosntruksi pengetahuan dengan cara mentransformasi, mengorganisasi dan mereorganisasi pengetahuan dengan informasi sebelumnya. Sementara menurut Vygotsky siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial. Dalam model Piaget dan Vygotsky sendiri, guru berfungsi sebagai fasilitator dan membimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.
Berikut ini merupakan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap dan sesuai dengan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus.
2.3. Gaya belajar
Gaya belajar dapat dideskripsikan dalam berbagai cara. Pada umumnya, gaya belajar adalah mengenai cara unik seseorang dalam belajar. Gaya belajar mendeskripsikan bagaimana siswa belajar bukan seberapa baik atau seberapa banyak siswa belajar.
Menurut DePorter dan Hernacki dalam Slavin (2006: 115), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality), yaitu:
1. Pelajar Visual
Pelajar visual belajar dari menonton, melihat, mengimajinasikan, dan sering sekali berpikir tentang gambar. Mereka lebih mengingat wajah daripada nama dan biasanya menuliskan sesuatu untuk mengingatnya.
2. Pelajar Auditorial
Pelajar auditorial belajar dengan mendengar atau menyimak. Mereka mengingat nama tapi mungkin tidak mengingat wajah. Mereka mengingat dengan mengulang ulang sesuatu. Mereka suka diskusi kelas dan mengalami kesulitan dalam menulis.
3. Pelajar Kinestetik
Pelajar kinestetik belajar dengan memanipulasi dan melakukan. Mereka berorientasi pada tindakan dan suka aktivitas fisik dan suka bergerak. Mereka lebih mudah mengingat apabila melakukan langsung ketimbang mendengar dan melihat. Mereka bukan pendengar yang baik dan menggunakan bahasa tubuh ketika berbicara.
Menurut Wood (2010: 10), ada lima jenis gaya belajar. Setiap orang setidaknya memiliki satu gaya belajar yang dominan. Sebagian orang mengkombinasikan beberapa gaya belajar, dan sebagian memilih gaya belajar sesuai aktifitas yang dilakukan.
1. Eye. Jika kamu suka menonton film, menggambar, atau mewarnai, atau menggunakan penglihatan dalam banyak kesempatan, kemungkinan kamu adalah pelajar visual. Pebelajar visual atau visual learner pada umumnya menggunakan mata untuk belajar.
2. Ear. Apabila kamu lebih suka mendengar radio daripada membaca koran, lebih suka mendengar musik atau kuliah, atau bergantung pada pendengaran kamu adalah pebelajar auditori. Pelajar auditori atau auditory learner pada umumnya menggunakan telinga mereka untuk belajar.
3. Order. Jika kamu suka mengerjakan teka teki, mengisi formulir, menyelesaikan masalah matematika, dan melakukan sesuatu secara sistematis, kamu mungkin pelajar sekuensial.
4. Picture. Apabila kamu sering melukiskan apa yang kamu lihat dan dengar, dan kamu suka belajar melalui gambar, kamu adalah pelajar global.
5. Doing. Apabila kamu terus bergerak, baik melakukan gerakan seperti olah raga ataupun menari, bermain alat musik, belajar dengan bergerak, kamu adalah pelajar kinestetik.
Brown membedakan gaya belajar siswa menjadi tiga, yaitu:
1. Pelajar visual, cenderung lebih suka membaca, mempelajari bagan atau grafik, dan menggambar.
2. Pelajar auditori, lebih suka mendengarkan rekaman ataupun ceramah.
3. Pelajar kinestetik, cenderung lebih suka melakukan demonstrasi dan aktivitas fisik yang meliputi gerakan anggota tubuh.
Menurut pandangan konstruktivisme sosial, siswa mengkonstruksi pengetahuan dan belajar melalui interaksi sosial. Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama.
Menurut de Kock dkk dalam Woolfolk (2007: 344), konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau teks. Sedangkan, pembelajaran adalah konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal.
Konstruktivisme terbagi dua, yaitu: konstruktivisme psikologi dan konstruktivisme sosial. Konstruktivis psikologi memfokuskan pada bagaimana individu-individu menggunakan informasi, sumber daya dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan meningkatkan model mental dan strategi problem solvingnya, sedangkan kontruktivis sosial melihat belajar sebagai meningkatkan kemampuan kita untuk berpartisipasi bersama orang lain dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya (Windschitl dalam Woolfolk: 2007: 345).
Konstruktivisme sosial menurut Piaget, siswa mengkosntruksi pengetahuan dengan cara mentransformasi, mengorganisasi dan mereorganisasi pengetahuan dengan informasi sebelumnya. Sementara menurut Vygotsky siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial. Dalam model Piaget dan Vygotsky sendiri, guru berfungsi sebagai fasilitator dan membimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.
Berikut ini merupakan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap dan sesuai dengan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus.
2.3. Gaya belajar
Gaya belajar dapat dideskripsikan dalam berbagai cara. Pada umumnya, gaya belajar adalah mengenai cara unik seseorang dalam belajar. Gaya belajar mendeskripsikan bagaimana siswa belajar bukan seberapa baik atau seberapa banyak siswa belajar.
Menurut DePorter dan Hernacki dalam Slavin (2006: 115), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality), yaitu:
1. Pelajar Visual
Pelajar visual belajar dari menonton, melihat, mengimajinasikan, dan sering sekali berpikir tentang gambar. Mereka lebih mengingat wajah daripada nama dan biasanya menuliskan sesuatu untuk mengingatnya.
2. Pelajar Auditorial
Pelajar auditorial belajar dengan mendengar atau menyimak. Mereka mengingat nama tapi mungkin tidak mengingat wajah. Mereka mengingat dengan mengulang ulang sesuatu. Mereka suka diskusi kelas dan mengalami kesulitan dalam menulis.
3. Pelajar Kinestetik
Pelajar kinestetik belajar dengan memanipulasi dan melakukan. Mereka berorientasi pada tindakan dan suka aktivitas fisik dan suka bergerak. Mereka lebih mudah mengingat apabila melakukan langsung ketimbang mendengar dan melihat. Mereka bukan pendengar yang baik dan menggunakan bahasa tubuh ketika berbicara.
Menurut Wood (2010: 10), ada lima jenis gaya belajar. Setiap orang setidaknya memiliki satu gaya belajar yang dominan. Sebagian orang mengkombinasikan beberapa gaya belajar, dan sebagian memilih gaya belajar sesuai aktifitas yang dilakukan.
1. Eye. Jika kamu suka menonton film, menggambar, atau mewarnai, atau menggunakan penglihatan dalam banyak kesempatan, kemungkinan kamu adalah pelajar visual. Pebelajar visual atau visual learner pada umumnya menggunakan mata untuk belajar.
2. Ear. Apabila kamu lebih suka mendengar radio daripada membaca koran, lebih suka mendengar musik atau kuliah, atau bergantung pada pendengaran kamu adalah pebelajar auditori. Pelajar auditori atau auditory learner pada umumnya menggunakan telinga mereka untuk belajar.
3. Order. Jika kamu suka mengerjakan teka teki, mengisi formulir, menyelesaikan masalah matematika, dan melakukan sesuatu secara sistematis, kamu mungkin pelajar sekuensial.
4. Picture. Apabila kamu sering melukiskan apa yang kamu lihat dan dengar, dan kamu suka belajar melalui gambar, kamu adalah pelajar global.
5. Doing. Apabila kamu terus bergerak, baik melakukan gerakan seperti olah raga ataupun menari, bermain alat musik, belajar dengan bergerak, kamu adalah pelajar kinestetik.
Brown membedakan gaya belajar siswa menjadi tiga, yaitu:
1. Pelajar visual, cenderung lebih suka membaca, mempelajari bagan atau grafik, dan menggambar.
2. Pelajar auditori, lebih suka mendengarkan rekaman ataupun ceramah.
3. Pelajar kinestetik, cenderung lebih suka melakukan demonstrasi dan aktivitas fisik yang meliputi gerakan anggota tubuh.
Selanjutnya Hannel (2007: 16) membedakan gaya belajar melalui pendekatan intelejensi (multiple intelegences), yaitu:
1. Intelejensi Verbal Linguistik. Siswa dengan intelejensi kinestetik suka mendengar, berbicara, membaca, dan berbicara.
2. Intelejensi Interpersonal. Siswa dengan intelejensi ini suka berhubungan dengan siswa lain dan suka bekerja dalam kelompok.
3. Intelejensi Kinestetik. Aktivitas dan gerakan tubuh sangat penting bagi siswa ini.
4. Intelejensi Naturalis. Siswa dengan intelejensi naturalis suka berhubungan dengan alam.
5. Intelejensi Musikal. Musik dan ritme punya arti bagi siswa ini.
6. Intelejensi Intrapersonal. Siswa ini suka belajar dan berpikir secara individual dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi.
7. Intelejensi Spasial. Siswa ini suka belajar dengan gambar, bagan, grafik, konstruksi dan pola.
8. Intelejensi Logikal Matematikal. Siswa ini suka bekerja dengan matematika, sistem, dan keteraturan (logical order).
9. Intelenji Estetik. Warna, bentuk, tekstur, aroma berperan penting dalam pembelajaran siswa ini.Dari kelima definisi belajar di atas, secara garis besar ada tiga kesamaan gaya belajar dan pelajarnya, yaitu: Gaya belajar visual, gaya belajar, auditorial, dan gaya belajar kinestetik.
1. Intelejensi Verbal Linguistik. Siswa dengan intelejensi kinestetik suka mendengar, berbicara, membaca, dan berbicara.
2. Intelejensi Interpersonal. Siswa dengan intelejensi ini suka berhubungan dengan siswa lain dan suka bekerja dalam kelompok.
3. Intelejensi Kinestetik. Aktivitas dan gerakan tubuh sangat penting bagi siswa ini.
4. Intelejensi Naturalis. Siswa dengan intelejensi naturalis suka berhubungan dengan alam.
5. Intelejensi Musikal. Musik dan ritme punya arti bagi siswa ini.
6. Intelejensi Intrapersonal. Siswa ini suka belajar dan berpikir secara individual dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi.
7. Intelejensi Spasial. Siswa ini suka belajar dengan gambar, bagan, grafik, konstruksi dan pola.
8. Intelejensi Logikal Matematikal. Siswa ini suka bekerja dengan matematika, sistem, dan keteraturan (logical order).
9. Intelenji Estetik. Warna, bentuk, tekstur, aroma berperan penting dalam pembelajaran siswa ini.Dari kelima definisi belajar di atas, secara garis besar ada tiga kesamaan gaya belajar dan pelajarnya, yaitu: Gaya belajar visual, gaya belajar, auditorial, dan gaya belajar kinestetik.
2.4. Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan dengan belajar, pengalaman atau instruksi. Menurut Slavin dalam Brown pembelajaran adalah sebuah perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. David Ausubel (Brown: 2007: 97) berpendapat bahwa pembelajaran terjadi dalam diri manusia melalui proses bermakna yang berkaitan dengan peristiwa atau hal baru dengan konsep kognitif atau dalil-dalil yang sudah ada.
Jenis pembelajaran sangat bervariasi menurut konteks dan materi yang harus dipelajari, akan tetapi sebuah kegiatan kompleks seperti pembelajaran bahasa dapat melibatkan semua jenis pembelajaran. Pembelajaran versi Gagne dilakukan mulai dari pembelajaran isyarat hingga pemecahan masalah dapat diadaptasi untuk pembelajaran bahasa.
Jenis pembelajaran menurut Gagne dalam pembelajaran bahasa adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran isyarat. Dalam hal ini individu belajar membuat respons umum terhadap sebuah isyarat. Isyarat pada umumnya berlangsung pada proses bahasa total: manusia memberi semacam respons umum (emosional, kognitif verbal ataunonverbal) terhadap bahasa.
2. Pembelajaran stimulus-respon. Pembelajar memperoleh respons terhadap stimulus khusus. Pembelajaran stimulus-respon respon terlihat jelas dalam penguasaan sistem bunyi sebuah bahasa asing; melalui pengkondisian dan proses trial and error, pembelajar semakin mendekati pengucapan mirip penutur aslinya.
3. Perangkaian (Chaining). Merupakan syarat pembelajaran seperti yang dipaparkan Skinner yaitu pembelajaran berupa dua rangkaian atau lebih koneksi stimulus-respons. Perangkaian terlihat jelas dalam pemerolehan rentetan fonologis dan pola-pola sintaksis, penggabungan beberapa respons dan rangkaian-rangkaian verbal tidak mesti linier.
4. Asosiasi verbal. Merupakan pembelajaran rangkaian-rangkaian bersifat verbal. Pada dasarnya kondisi-kondisinya menyerupai apa yang berlaku bagi rangkaian-rangkaian (motor) lain. Keberadaan bahasa dalam diri manusia menjadikan tipe rangkaian ini istimewa karena kaitan-kaitan internalnya bisa diseleksi dari tingkatan pemerolehan bahasa seseorang. Jenis pembelajaran ini membedakan antara rangkaian verbal dan nonverbal, dengan demikian bukan jenis pembelajaran bahasa yang sepenuhnya terpisah.
5. Diskriminasi ganda. Individu belajar membuat sejumlah respons berbeda terhadap stimulus yang berlainan, yang sedikit banyak bisa mirip satu sama lain secara fisik. Dalam pembelajaran bahasa kedua hal ini sangat penting dimana, misalnya sebuah kata harus menyandang beberapa makna, atau sebuah kaidah dalam bahasa asli ditata ulang agar sesuai dengan konteks bahasa kedua.
6. Pembelajaran konsep. Pembelajar memperoleh kemahiran membuat respons umum terhadap suatu kelompok stimulus sekalipun anggota-anggota kelompok itu bisa sangat berbeda satu sama lain. Pembelajaran konsep meliputi gagasan bahwa bahasa dan kognisi saling berkait tak terpisahkan, juga bahwa kaidah-kaidah itu sendiri seperti kaidah sintaksis merupakan konsep linguistik yang harus diperoleh.
7. Pembelajaran prinsip. Secara sederhana dikatakan bahwa prinsip adalah rangkaian –rangkaian konsep. Pembelajaran ini dapat dikatakan mengorganisasi perilaku dan pengalaman. Pembelajaran prisip sendiri merupakan perluasan dari pembelajaran konsep yang menjangkau pembentukan sebuah sistem linguistik, dimana kaidah-kaidah tidak diisolasi dalam memori hafalan, tetapi dikaitkan dan disatukan dalam sebuah sistem total.
8. Pemecahan masalah. Pembelajaran ini sering disebut dengan proses berpikir. Pada tahap ini tampak jelas dalam pembelajaran bahasa kedua ketika pembelajar terus menerus menghadapi berbagai hal yang memang merupakan masalah sulit yang mesti diselesaikan. Pemecahan masalah melibatkan interaksi kreatif dari delapan jenis pembelajaran saat pembelajar memilih dan menimbang informasi terdahulu untuk menentukan dengan tepat makna sebuah kata dalam bahasa kedua.
Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan dengan belajar, pengalaman atau instruksi. Menurut Slavin dalam Brown pembelajaran adalah sebuah perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. David Ausubel (Brown: 2007: 97) berpendapat bahwa pembelajaran terjadi dalam diri manusia melalui proses bermakna yang berkaitan dengan peristiwa atau hal baru dengan konsep kognitif atau dalil-dalil yang sudah ada.
Jenis pembelajaran sangat bervariasi menurut konteks dan materi yang harus dipelajari, akan tetapi sebuah kegiatan kompleks seperti pembelajaran bahasa dapat melibatkan semua jenis pembelajaran. Pembelajaran versi Gagne dilakukan mulai dari pembelajaran isyarat hingga pemecahan masalah dapat diadaptasi untuk pembelajaran bahasa.
Jenis pembelajaran menurut Gagne dalam pembelajaran bahasa adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran isyarat. Dalam hal ini individu belajar membuat respons umum terhadap sebuah isyarat. Isyarat pada umumnya berlangsung pada proses bahasa total: manusia memberi semacam respons umum (emosional, kognitif verbal ataunonverbal) terhadap bahasa.
2. Pembelajaran stimulus-respon. Pembelajar memperoleh respons terhadap stimulus khusus. Pembelajaran stimulus-respon respon terlihat jelas dalam penguasaan sistem bunyi sebuah bahasa asing; melalui pengkondisian dan proses trial and error, pembelajar semakin mendekati pengucapan mirip penutur aslinya.
3. Perangkaian (Chaining). Merupakan syarat pembelajaran seperti yang dipaparkan Skinner yaitu pembelajaran berupa dua rangkaian atau lebih koneksi stimulus-respons. Perangkaian terlihat jelas dalam pemerolehan rentetan fonologis dan pola-pola sintaksis, penggabungan beberapa respons dan rangkaian-rangkaian verbal tidak mesti linier.
4. Asosiasi verbal. Merupakan pembelajaran rangkaian-rangkaian bersifat verbal. Pada dasarnya kondisi-kondisinya menyerupai apa yang berlaku bagi rangkaian-rangkaian (motor) lain. Keberadaan bahasa dalam diri manusia menjadikan tipe rangkaian ini istimewa karena kaitan-kaitan internalnya bisa diseleksi dari tingkatan pemerolehan bahasa seseorang. Jenis pembelajaran ini membedakan antara rangkaian verbal dan nonverbal, dengan demikian bukan jenis pembelajaran bahasa yang sepenuhnya terpisah.
5. Diskriminasi ganda. Individu belajar membuat sejumlah respons berbeda terhadap stimulus yang berlainan, yang sedikit banyak bisa mirip satu sama lain secara fisik. Dalam pembelajaran bahasa kedua hal ini sangat penting dimana, misalnya sebuah kata harus menyandang beberapa makna, atau sebuah kaidah dalam bahasa asli ditata ulang agar sesuai dengan konteks bahasa kedua.
6. Pembelajaran konsep. Pembelajar memperoleh kemahiran membuat respons umum terhadap suatu kelompok stimulus sekalipun anggota-anggota kelompok itu bisa sangat berbeda satu sama lain. Pembelajaran konsep meliputi gagasan bahwa bahasa dan kognisi saling berkait tak terpisahkan, juga bahwa kaidah-kaidah itu sendiri seperti kaidah sintaksis merupakan konsep linguistik yang harus diperoleh.
7. Pembelajaran prinsip. Secara sederhana dikatakan bahwa prinsip adalah rangkaian –rangkaian konsep. Pembelajaran ini dapat dikatakan mengorganisasi perilaku dan pengalaman. Pembelajaran prisip sendiri merupakan perluasan dari pembelajaran konsep yang menjangkau pembentukan sebuah sistem linguistik, dimana kaidah-kaidah tidak diisolasi dalam memori hafalan, tetapi dikaitkan dan disatukan dalam sebuah sistem total.
8. Pemecahan masalah. Pembelajaran ini sering disebut dengan proses berpikir. Pada tahap ini tampak jelas dalam pembelajaran bahasa kedua ketika pembelajar terus menerus menghadapi berbagai hal yang memang merupakan masalah sulit yang mesti diselesaikan. Pemecahan masalah melibatkan interaksi kreatif dari delapan jenis pembelajaran saat pembelajar memilih dan menimbang informasi terdahulu untuk menentukan dengan tepat makna sebuah kata dalam bahasa kedua.
C. PENGAJARAN
3.1.Hakikat Pengajaran
Pengajaran dapat diartikan sebagai suatu proses mengajar. Mengajar adalah penyampaian ilmu kepada orang yang belajar. Tardif dalam Syah mendefinisikan mengajar (2010: 179) sebagai perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (siswa) melakukan kegiatan belajar. Masih dari halaman yang sama, Tyson dan Carol mendefinisikan bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama sama aktif melakukan kegiatan.
Dalam arti yang lebih ideal, mengajar bahkan mengandung konotasi membimbing dan membantu untuk memudahkan siswa dalam menjalani proses perubahannya sendiri, yakni proses belajar untuk meraih kecakapan cipta, rasa, dan karsa yang menyeluruh dan utuh (Syah: 2010: 178).
3.1.Hakikat Pengajaran
Pengajaran dapat diartikan sebagai suatu proses mengajar. Mengajar adalah penyampaian ilmu kepada orang yang belajar. Tardif dalam Syah mendefinisikan mengajar (2010: 179) sebagai perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (siswa) melakukan kegiatan belajar. Masih dari halaman yang sama, Tyson dan Carol mendefinisikan bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama sama aktif melakukan kegiatan.
Dalam arti yang lebih ideal, mengajar bahkan mengandung konotasi membimbing dan membantu untuk memudahkan siswa dalam menjalani proses perubahannya sendiri, yakni proses belajar untuk meraih kecakapan cipta, rasa, dan karsa yang menyeluruh dan utuh (Syah: 2010: 178).
Dari beberapa definisi mengajar di atas, secara singkat dapat
disimpulkan bahwa mengajar adalah sebuah proses yang dilakukan seseorang
(guru) yang memungkinkan terjadinya pembelajaran pada siswa. Jadi, guru
dituntut untuk dapat memfasilitasi siswa secara efektif agar terjadi
pembelajaran dimana siswa berperan aktif dalam mengembangkan dirinya
untuk mencapai berbagai kecakapan.
Guru yang efektif adalah guru yang dapat menggunakan waktu secara efisien dan mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu guru perlu memiliki pengetahuan tentang pengelolaan pembelajaran yang termasuk kedalamnya pengetahuan tentang peserta didik, penguasaan metode pengajaran, dan pengelolaan kelas yang baik. Pembelajaran akan terjadi apabila siswa merespon stimulus yang diberikan oleh guru. Untuk itu, guru harus mampu memberikan stimulus yang memunculkan motivasi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Guru perlu mengenali siswanya secara personal untuk mengetahui gaya belajar atau kecenderungan siswa dalam belajar sehingga nantinya dapat memberikan scaffolding dan memilih metode yang tepat dalam membimbing siswa untuk menggali pengetahuan yang ada dalam dirinya. Menciptakan iklim kelas yang menyenangkan dimana terjalin hubungan baik antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa juga akan mendukung terciptanya pemebelajaran yang efektif.
3.2.Pengajaran Bahasa
Pengajaran bahasa seperti pengajaran lainnya memiliki metodologi yang terdiri dari 4 komponen, yaitu: Pendekatan (Approach), Metode (Method), serta Teknik dan Prosedur (Technique and Procedure).
1. Pendekatan
Menurut Anthony dalam Brown (2003: 14), Pendekatan adalah sekumpulan asumsi yang berhubungan dengan hakikat bahasa, belajar, dan mengajar. Atau dapat dikatakan bahwa pendekatan adalah sekumpulan teori tentang hakikat bahasa, belajar, dan mengajar. Berbagai teori tentang hakikat bahasa, belajar, dan mengajar telah dijelaskan pada poin poin sebelumnya. Pendekatan pendekatan ini digunakan dalam seting pengajaran bahasa.
2. Metode
Masih menurut Anthony, metode adalah rencana keseluruhan untuk pengajaran bahasa yang berdasarkan pada pendekatan tertentu. Metode yang dipilih guru dalam proses Belajar Mengajar didasarkan pada pendekatan yang dipilih guru terkait dengan bahasa, belajar, dan mengajar. Tarigan (2009: 13) menjelaskan, ”Agar suatu pendekatan dapat menuju kepada metode, kita perlu mengembangkan design (rancang bangun) bagi sistem instruksional. Rancang bangun merupakan tingkatan analisis metode.
Menurut tarigan, dalam penyusunan metode, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a. apa tujuan metode;
b. cara memilih dan menyusun bobot bahasa di dalam metode, yaitu model silabus yang tergabung dalam metode;
c. peranan para pembelajar;
d. peranan para pengajar;
e. peranan bahan pengajaran atau materi instruksional.
Sebelum mengajar, perlu ditentukan apa tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran agar guru dapat menilai apakah pada akhir pembelajaran tujuan yang telah direncanakan sebelumnya tercapai atau tidak. Untuk mencapai tujuan tadi, guru mempertimbangkan metode apa yang paling cocok diimplementasikan sesuai dengan karakteristik siswa dan materi yang akan diajarkan. Di dalam metode terperinci apa yang dilakukan guru, apa yang dilakukan siswa, dan apa materi yang akan dibawakan dalam proses belajar mengajar.
Contoh: Guru memilih pendekatan atau teori yang mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Dari pendekatan ini, guru memilih satu metode yang memungkinkan siswa melakukan komunikasi antara satu sama lain (Student Student Interaction). Oleh karena itu, guru memilih metode pembelajaran kooperatif yang dapat mendukung interaksi antara siswa. Dari metode kooperatif yang ada, guru memilih metode Think Pair Share yang menurut guru sesuai dengan berbagai gaya belajar siswa (visual, auditori, dan kinestetik).
3. Teknik dan Prosedur
Teknik adalah aktifitas spesifik yang termanifestasi di dalam kelas yang konsisten terhadap metode yang artinya juga selaras dengan pendekatan. (Anthony dalam Brown: 2003: 14). Aktivitas aktivitas ini memiliki langkah langkah yang tersusun secara kronologis yang disebut prosedur.
Contoh: Metode Think Pair Share yang tadi dipilih guru merupakan aktivitas yang akan dimanifestasikan di alam kegiatan belajar mengajar. Prosedur untuk menjalankan metode ini adalah :
Think : Guru mengajukan pertanyaan atau topic yang terkait dengan pelajaran dan meminta siswa-siswanya untuk memikirkan sendiri jawaban untuk pertanyaan selama 1-3 menit.
Pair : Guru meminta siswa untuk berpasang-pasangan dan mendiskusikan segala hal yang telah mereka pikirkan. Interaksi selama periode ini dapat berupa saling berbagi jawaban atau berbagi ide. Guru memberikan waktu 4-5 menit untul berpasangan.
Share : Pada langkah ini guru meminta pasangan-pasangan siswa berbagi hasil diskusi mereka dengan seluruh kelas. Lebih efektif bagi guru untuk berjalan mengelilingi ruangan, dari satu pasangan ke pasangan lainsampai separuh pasangan berkesempatan melaporkan hasil diskusi mereka. (Suprijono: 2011:91)
Guru yang efektif adalah guru yang dapat menggunakan waktu secara efisien dan mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu guru perlu memiliki pengetahuan tentang pengelolaan pembelajaran yang termasuk kedalamnya pengetahuan tentang peserta didik, penguasaan metode pengajaran, dan pengelolaan kelas yang baik. Pembelajaran akan terjadi apabila siswa merespon stimulus yang diberikan oleh guru. Untuk itu, guru harus mampu memberikan stimulus yang memunculkan motivasi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Guru perlu mengenali siswanya secara personal untuk mengetahui gaya belajar atau kecenderungan siswa dalam belajar sehingga nantinya dapat memberikan scaffolding dan memilih metode yang tepat dalam membimbing siswa untuk menggali pengetahuan yang ada dalam dirinya. Menciptakan iklim kelas yang menyenangkan dimana terjalin hubungan baik antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa juga akan mendukung terciptanya pemebelajaran yang efektif.
3.2.Pengajaran Bahasa
Pengajaran bahasa seperti pengajaran lainnya memiliki metodologi yang terdiri dari 4 komponen, yaitu: Pendekatan (Approach), Metode (Method), serta Teknik dan Prosedur (Technique and Procedure).
1. Pendekatan
Menurut Anthony dalam Brown (2003: 14), Pendekatan adalah sekumpulan asumsi yang berhubungan dengan hakikat bahasa, belajar, dan mengajar. Atau dapat dikatakan bahwa pendekatan adalah sekumpulan teori tentang hakikat bahasa, belajar, dan mengajar. Berbagai teori tentang hakikat bahasa, belajar, dan mengajar telah dijelaskan pada poin poin sebelumnya. Pendekatan pendekatan ini digunakan dalam seting pengajaran bahasa.
2. Metode
Masih menurut Anthony, metode adalah rencana keseluruhan untuk pengajaran bahasa yang berdasarkan pada pendekatan tertentu. Metode yang dipilih guru dalam proses Belajar Mengajar didasarkan pada pendekatan yang dipilih guru terkait dengan bahasa, belajar, dan mengajar. Tarigan (2009: 13) menjelaskan, ”Agar suatu pendekatan dapat menuju kepada metode, kita perlu mengembangkan design (rancang bangun) bagi sistem instruksional. Rancang bangun merupakan tingkatan analisis metode.
Menurut tarigan, dalam penyusunan metode, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a. apa tujuan metode;
b. cara memilih dan menyusun bobot bahasa di dalam metode, yaitu model silabus yang tergabung dalam metode;
c. peranan para pembelajar;
d. peranan para pengajar;
e. peranan bahan pengajaran atau materi instruksional.
Sebelum mengajar, perlu ditentukan apa tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran agar guru dapat menilai apakah pada akhir pembelajaran tujuan yang telah direncanakan sebelumnya tercapai atau tidak. Untuk mencapai tujuan tadi, guru mempertimbangkan metode apa yang paling cocok diimplementasikan sesuai dengan karakteristik siswa dan materi yang akan diajarkan. Di dalam metode terperinci apa yang dilakukan guru, apa yang dilakukan siswa, dan apa materi yang akan dibawakan dalam proses belajar mengajar.
Contoh: Guru memilih pendekatan atau teori yang mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Dari pendekatan ini, guru memilih satu metode yang memungkinkan siswa melakukan komunikasi antara satu sama lain (Student Student Interaction). Oleh karena itu, guru memilih metode pembelajaran kooperatif yang dapat mendukung interaksi antara siswa. Dari metode kooperatif yang ada, guru memilih metode Think Pair Share yang menurut guru sesuai dengan berbagai gaya belajar siswa (visual, auditori, dan kinestetik).
3. Teknik dan Prosedur
Teknik adalah aktifitas spesifik yang termanifestasi di dalam kelas yang konsisten terhadap metode yang artinya juga selaras dengan pendekatan. (Anthony dalam Brown: 2003: 14). Aktivitas aktivitas ini memiliki langkah langkah yang tersusun secara kronologis yang disebut prosedur.
Contoh: Metode Think Pair Share yang tadi dipilih guru merupakan aktivitas yang akan dimanifestasikan di alam kegiatan belajar mengajar. Prosedur untuk menjalankan metode ini adalah :
Think : Guru mengajukan pertanyaan atau topic yang terkait dengan pelajaran dan meminta siswa-siswanya untuk memikirkan sendiri jawaban untuk pertanyaan selama 1-3 menit.
Pair : Guru meminta siswa untuk berpasang-pasangan dan mendiskusikan segala hal yang telah mereka pikirkan. Interaksi selama periode ini dapat berupa saling berbagi jawaban atau berbagi ide. Guru memberikan waktu 4-5 menit untul berpasangan.
Share : Pada langkah ini guru meminta pasangan-pasangan siswa berbagi hasil diskusi mereka dengan seluruh kelas. Lebih efektif bagi guru untuk berjalan mengelilingi ruangan, dari satu pasangan ke pasangan lainsampai separuh pasangan berkesempatan melaporkan hasil diskusi mereka. (Suprijono: 2011:91)
3.3.Tujuan Pengajaran Bahasa
Adapun bahasa berfungsi sebagai sarana berpikir ilmiah, menyampaikan pendapat, mengutarakan perasaan, dan berinteraksi dengan masyarakat bahasa. Dalam menggunakan bahasa, ada 4 kompetensi yang harus dikuasai oleh pengguna atau pembelajar bahasa yang oleh Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguistik, disebut Kompetensi Komunikatif (Communicative Competence). Oleh karena itu, pengajaran bahasa ditujukan agar siswa mampu mencapai Kompetensi Komunikatif. Empat komponen atau subkategori yang berbeda membangun konsep Kompetensi Komunikatif; dua subkategori pertama mencerminkan penggunaan sistem linguistik itu sendiri; dua yang terakhir menndefinisikan aspek aspek fungsional komunikasi. (Brown: 2007: 241)
1. Kompetensi Gramatikal
“Kompetensi gramatikal adalah pengetahuan tentang komponen leksikal dan kaidah morfologi, sintaksis, semantik tata bahasa kalimat, dan fonologi.” (Canale and Swain dalam Kumaravadivelu: 17). Apabila menguasai kompetensi grammatical, siswa akan mampu menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah dan struktur kalimat yang benar dan diterima oleh masyarakat pengguna bahasa.
Contoh: A: “Would you like something to drink?”
B: “I’d like a cup of coffee.”
2. Kompetensi Wacana
Kemampuan untuk menggunakan aspek aspek bahasa sebagai suatu wacana dimana serangkaian kaliamat atau ujaran saling berhubungan dan membentuk suatu kesatuan yang bermakna, baik lisan maupun tulisan. “Jika kompetensi gramatikal berfokus pada tata bahasa taraf kalimat, kompetensi wacana berurusan dengan hubungan antar kalimat”. (Brown: 2007: 242). Siswa yang memiliki kompetensi wacana mampu merangkai kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf yang menyampaikan suatu pesan, informasi, atau cerita yang memiliki arti.
3. Kompetensi Sosiolinguistik
Kompetensi Sosiolinguistik mengacu pada kemampuan penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah kaidah sosial budaya. Jadi, penggunaan bahasa disesuaikan dengan konteks dimana, kapan, dan kepada siapa kita sedang berbicara. Sesuai dengan penjelasan Canale and Swain dalam Kumaravadivelu (2006: 17) yang mengatakan bahwa:
”Kompetensi Sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang sejauh mana ujaran diproduksi dan dipahami secara layak dalam konteks sosiolinguistik yang berbeda tergantung pada faktor faktor kontekstual seperti status, maksud dari interaksi, dan norma norma dalam berinteraksi”.
Adapun bahasa berfungsi sebagai sarana berpikir ilmiah, menyampaikan pendapat, mengutarakan perasaan, dan berinteraksi dengan masyarakat bahasa. Dalam menggunakan bahasa, ada 4 kompetensi yang harus dikuasai oleh pengguna atau pembelajar bahasa yang oleh Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguistik, disebut Kompetensi Komunikatif (Communicative Competence). Oleh karena itu, pengajaran bahasa ditujukan agar siswa mampu mencapai Kompetensi Komunikatif. Empat komponen atau subkategori yang berbeda membangun konsep Kompetensi Komunikatif; dua subkategori pertama mencerminkan penggunaan sistem linguistik itu sendiri; dua yang terakhir menndefinisikan aspek aspek fungsional komunikasi. (Brown: 2007: 241)
1. Kompetensi Gramatikal
“Kompetensi gramatikal adalah pengetahuan tentang komponen leksikal dan kaidah morfologi, sintaksis, semantik tata bahasa kalimat, dan fonologi.” (Canale and Swain dalam Kumaravadivelu: 17). Apabila menguasai kompetensi grammatical, siswa akan mampu menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah dan struktur kalimat yang benar dan diterima oleh masyarakat pengguna bahasa.
Contoh: A: “Would you like something to drink?”
B: “I’d like a cup of coffee.”
2. Kompetensi Wacana
Kemampuan untuk menggunakan aspek aspek bahasa sebagai suatu wacana dimana serangkaian kaliamat atau ujaran saling berhubungan dan membentuk suatu kesatuan yang bermakna, baik lisan maupun tulisan. “Jika kompetensi gramatikal berfokus pada tata bahasa taraf kalimat, kompetensi wacana berurusan dengan hubungan antar kalimat”. (Brown: 2007: 242). Siswa yang memiliki kompetensi wacana mampu merangkai kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf yang menyampaikan suatu pesan, informasi, atau cerita yang memiliki arti.
3. Kompetensi Sosiolinguistik
Kompetensi Sosiolinguistik mengacu pada kemampuan penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah kaidah sosial budaya. Jadi, penggunaan bahasa disesuaikan dengan konteks dimana, kapan, dan kepada siapa kita sedang berbicara. Sesuai dengan penjelasan Canale and Swain dalam Kumaravadivelu (2006: 17) yang mengatakan bahwa:
”Kompetensi Sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang sejauh mana ujaran diproduksi dan dipahami secara layak dalam konteks sosiolinguistik yang berbeda tergantung pada faktor faktor kontekstual seperti status, maksud dari interaksi, dan norma norma dalam berinteraksi”.
Contoh: A: What’s up man??
B: Nothing much!!
Penggalan percakapan di atas hanya digunakan oleh teman sebaya. Apabila kita ingin berbicara keda orang yang lebih tua, maka digunakan bahasa yang lebih sopan yaitu, ”How are you?”. demikian juga apabila kita ingin orang lain melakukan sesuatu, menggunakan kalimat bermakna implisit akan lebih sopan daripada memerintah secara langsung.
Contoh: A: Wah, sudah kosong gelasnya.
B: Sebentar sya ambilkan air lagi.
Dengan menggunakan pragmatik seperti kalimat A di atas, kita dapat menyampaikan maksud secara tidak langsung seperti yang dilakukan A. Tanpa harus memerintah B untuk mengambilkan air, B dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh A.
Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan dan pemilihan komponen bahasa berbeda beda dan disesuaikan pada konteks dimana, kapan, dan kepada siapa kita sedang berbicara. Dengan demikian, akan ada perbedaan cara berbicara antara siswa dengan sesama siswa dan siswa dengan guru, antara atasan dan bawahan, dan orang tua dan anak. Siswa diharapkan dapat mengembangkan Kompetensi Sosiolinguistik agar dapat menggunakan bahasa yang sesuai dalam berbagai konteks sosial.
4. Kompetensi Strategi
Canale dan Swain dalam Kumaravadivelu (2006: 17) menjelaskan bahwa Kompetensi Strategis adalah strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi kemacetan dalam komunikasi karena variabel variabel performa atau kompetensi yang tidak memadai. Sebagai tambahan, Brown (2007: 243) menuliskan, “Bahkan, kompetensi strategis adalah cara kita memanipulasi bahasa untuk memenuhi tujuan tujuan komunikatif tertentu”. Jadi, kompetensi strategi merupakan strategi yang digunakan pengguna bahasa agar pembicaraaan dapat berjalan lancar.
Contoh: A: It is raining cats and dogs, I forget to bring …… what do you call something to protect us while raining?
B: Umbrella.
A: Yes, umbrella.
B: Nothing much!!
Penggalan percakapan di atas hanya digunakan oleh teman sebaya. Apabila kita ingin berbicara keda orang yang lebih tua, maka digunakan bahasa yang lebih sopan yaitu, ”How are you?”. demikian juga apabila kita ingin orang lain melakukan sesuatu, menggunakan kalimat bermakna implisit akan lebih sopan daripada memerintah secara langsung.
Contoh: A: Wah, sudah kosong gelasnya.
B: Sebentar sya ambilkan air lagi.
Dengan menggunakan pragmatik seperti kalimat A di atas, kita dapat menyampaikan maksud secara tidak langsung seperti yang dilakukan A. Tanpa harus memerintah B untuk mengambilkan air, B dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh A.
Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan dan pemilihan komponen bahasa berbeda beda dan disesuaikan pada konteks dimana, kapan, dan kepada siapa kita sedang berbicara. Dengan demikian, akan ada perbedaan cara berbicara antara siswa dengan sesama siswa dan siswa dengan guru, antara atasan dan bawahan, dan orang tua dan anak. Siswa diharapkan dapat mengembangkan Kompetensi Sosiolinguistik agar dapat menggunakan bahasa yang sesuai dalam berbagai konteks sosial.
4. Kompetensi Strategi
Canale dan Swain dalam Kumaravadivelu (2006: 17) menjelaskan bahwa Kompetensi Strategis adalah strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi kemacetan dalam komunikasi karena variabel variabel performa atau kompetensi yang tidak memadai. Sebagai tambahan, Brown (2007: 243) menuliskan, “Bahkan, kompetensi strategis adalah cara kita memanipulasi bahasa untuk memenuhi tujuan tujuan komunikatif tertentu”. Jadi, kompetensi strategi merupakan strategi yang digunakan pengguna bahasa agar pembicaraaan dapat berjalan lancar.
Contoh: A: It is raining cats and dogs, I forget to bring …… what do you call something to protect us while raining?
B: Umbrella.
A: Yes, umbrella.
Daftar Pustaka.
Understanding language teaching from method to post method. B. Kumaravadivelu. LEA: New Jersey. 2006
(Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, 2007, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher)
(Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, 2007, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher)
(Psikolinguistik, pengantar pemahaman bahasa manusia. Edisi kedua, suenjono dardjowidjojo, Yayasan Obor Indonesi, Jakarta, 2008)
Brown. Prinsip Prinsip
Linguistics. Jean Aitchinson. 2003. McGraw Hill
sumber : bitha siregar
Komentar
Posting Komentar
setelah berkunjung jangan lupa tinggalkan komentar..
Terima Kasih atas kunjungannya.. salam dari Ramlan & Ari