jalan menuju ke langit

Bahasa sehari-hari mengenal istilah; Allah SWT yang di atas, atau Allah SWT yang di langit. Langit sering didefinisikan sebagai batas pandangan mata. Dalam Al Qur’an langit disebut dengan nama sawa’ atau samawat. Dalam bahasa Arab, sama’ mengandung dua arti, pertama : ma’ala ka, apa yang di atasmu. Dari pengertian ini maka plafon di rumah kita disebut langit-langit. Kedua : langit adalah ungkapan tentang sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal manusia.

Jika disebut surga berada di langit artinya akal manusia tidak akan mampu melacak keberadaannya. Surga dapat dilacak dengan keyakinan atau iman, bukan dengan ratio. Bahasa sehari-hari juga suka menggunakan istilah langit meski kurang tepat, misalnya menyebut kecantikan luar biasa dari seorang gadis dengan menyebut cantiknya selangit, kekayaan yang sangat banyak disebut kayanya selangit, dan ungkapan semisal lainnya.

Orang beriman meyakini bahwa di balik alam raya ini ada alam langit atau ‘alam malakut satu “tempat” yang sangat tinggi dimana blue print alam raya dengan segala kehidupannya itu berada dan dikendalikan, dan Allah bersemayam di ‘arasy-Nya mengendalikan kekuasaannya melalui sistem sunnatullah, dan Dia mengontrol secara detail hingga jatuhnya selembar daun pun berada dalam kontrol-Nya.

Di mana letak alam malakut dan dimana ‘arasy Allah SWT, akal manusia tidak mungkin menjangkaunya, karena Allah Maha Tinggi sedangkan manusia sebagai hamba memiliki keterbatasan yang sangat banyak. Meski demikian, dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya Allah memberi infrastruktur kepada manusia untuk dapat mendekat kepada-Nya. Allah menempatkan sifat ilahiah pada setiap manusia, apa yang dalam agama disebut nasut.

Allah juga menempatkan cahaya (nur)-Nya pada setiap hati (qalb) manusia, disebut nuraniyyun (hati nurani) yang memiliki kapasitas pandangan batin sebagai lawan dari pandangan mata kepada, oleh Al Qur’an disebut bashirah. Allah SWT berfirman : “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”. (QS. Al Qiyaamah : 14 – 15) Jika sifat Allah SWT al Bashir mengandung arti Allah SWT mampu melihat sesuatu secara total tanpa alat bantu, maka bashirah-nya manusia atau hati nurani manusia juga dapat menembus dinding-dinding pembatas, secara internal melihat diri sendiri, introspeksi secara jujur dan hati nurani tidak bisa diajak berdusta, sedangkan secara ekternal, hati nurani dapat menerobos ke alam malakut (bercengkerama dengan ruhaniyyun (malaikat atau arwah manusia) dan bahkan bisa bercengkerama dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Di alam malakut, manusia bisa berjumpa dengan arwah manusia yang telah lama meninggal, dan jika beruntung bisa berjumpa dengan Nabi.

Dengan sifat Nasut itulah manusia pada suatu ketika rindu kepada Allah SWT. Sifat nasut itu bagaikan api yang selalu menyala ke atas. Orang yang sedang rindu kepada Allah SWT, maka pandangannya selalu ke “atas” mencari Dia Yang Maha Tinggi di “alam atas”. Kerinduan kepada Allah SWT itu memuncak ketika seseorang berhasil bekerja keras mensucikan jiwanya (tazkiyyat an nafs) hingga jiwanya mencapai tingkat nafs al muthma’innah, yaitu jiwa yang tenang, atau ketika Allah SWT berkenan mendekati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya sehingga orang itu dalam waktu cepat tersucikan jiwanya. Allah SWT berfirman : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikit pun” (QS. An Nisaa : 49).

Di sisi lain, Allah SWT memiliki sifat kemanusiaan (lahut) yang selalu merindukan kehadiran manusia ke haribaan rahmat-Nya. Allah SWT sangat antusias menyongsongnya dengan berlari. Itulah yang menyebabkan ada orang sejak kecil menjadi muslim tetapi tak kunjung berkualitas, sementara ada orang yang belum lama menjadi “mu’allaf” tetapi sudah mencapai pencerahan spiritualitas, karena ia disongsong oleh Allah SWT. Di satu pihak, manusia memang memiliki bakat kerinduan kepada Allah SWT dan untuk itu ia berusaha naik ke “atas” (taraqqi), di pihak lain, Allah SWT yang merindukan kehadiran manusia berlari turun dari “atas” (tanazul) menyongsong setiap hambanya yang berusaha keras mendekat (taqarrub). Ada tiga jalan yang bisa ditempuh manusia untuk mendekat kepada-Nya.

Pertama :Thariqah as Syar’iy, jalan syar’i. Siapa saja yang berusaha keras secara konsisten mengikuti syari’at, shalatnya, puasanya, berdagangnya, berpolitiknya, maka dijamin ujungnya adalah dar al muqarrabin, wisma khusus orang-orang dekat. Siapa saja yang secara konsisten mengikuti petunjuk Allah SWT dalam hidupnya, yakni mengikuti aturan Allah SWT tentang halal-haram, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia berpeluang untuk menjadi orang dekat-Nya.

Kedua : Thariqah ahl az zikr, Jalannya ahli zikir. Barang siapa yang dalam hidupnya selalu berzikir maka ia akan sampai ke tingkat dekat dengan Allah. Zikir artinya menyebut atau mengingat. Orang awam berzikir dengan mulutnya dalam bentuk menyebut asma Allah atau kalimah thayyibah, meski hatinya belum tentu ingat Allah. Lihatlah orang yang ikut zikir bersama Arifin Ilham, ia bisa menangis haru, instrospeksi, dikerjakan secara sistemik, maka lama-kelamaan hatinya menjadi dekat dengan Allah SWT yang selalu disebutnya. Sementara orang khawas, berzikir dengan hatinya. Keadaan apa pun yang dihadapinya dalam hidup, hatinya tetap mengingat Allah. Ada beberapa tingkatan zikir, yaitu zikir jahr, zikir keras-keras, kemudian meningkat menjadi zikir khofiy, zikir yang tidak mengeluarkan suara tetapi penuh di dalam hati, kemudian tafakkur, berkelana secara ruhaniyyah merenungkan kebesaran Allah, dan yang tertinggi adalah tadabbur, yakni melihat benda atau alam pun langsung terbayang Sang Pencipta (tadabbur ‘alam).

Ketiga : Thariqah mujahidah as Syaqa, memilih jalan yang sulit. Bagi penganut jalan ini, hidup secara biasa itu berarti tidak tahu diri dan kurang bersyukur kepada Allah SWT. Ia wajibkan dirinya mengerjakan yang sunnah, ia haramkan untuk dirinya apa yang sesungguhnya halal, semata-mata karena tahu diri. Ia lebih suka tidur di lantai, meski memiliki kasur, ia memakan makanan yang tidak enak meski tersedia makanan lezat, pokoknya semua yang sulit menjadi pilihannya. Baginya menempuh kexulitan dalam perjalanan mendekat kepada Allah SWT itu satu kenikmatan, dan baginya pula, menggunakan fasilitas kemudahan dalam perjalanan kepada Allah SWT itu memalukan

Wallahu a’lam bish shawab ***

Dikutip dari : Buletin Jum’at Al Bina Edisi 23, 19 Jumadil Tsaniyah 1430 H / 12 Juni 2009 M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESENSI,PROSES, DAN WILAYAH ADMINISTRSI PENDIDIKAN

PEMBELAJARAN DENGAN EKSPLORASI, ELABORASI, DAN KONFIRMASI

Penilaian Kelas