Kajian Stilistika Puisi Ayah Karya Diah Ismani
1. Pendahuluan
Menikmati sebuah puisi, orang tidak sekadar mengapresiasi unsur kebahasaan yang terdiri atas serangkaian kata-kata yang indah, akan tetapi juga berhadapan dengan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang diucapkan oleh penyair.
Pada hakikatnya, puisi dibangun oleh dua unsur, yaitu struktur fisik berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin berupa struktur makna yang terkandung dalam pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur pokok itu merupakan kesatuan yang saling berjalin secara fungsional.
Penyair menulis puisi, menyusun baris-baris dan bait-bait menggunakan kata-kata, lambang-lambang, kiasan, dan sebagainya. Semua yang ditampilkan oleh penyair dalam puisi mempunyai makna-makna tertentu karena puisi merupakan ungkapan perasaan dan pikiran penyair.
Oleh karena itulah, puisi dapat dikaji melalui bahasanya. Pradopo (2000:3) mengungkapkan, “Puisi dapat dikaji bahasanya karena mempunyai struktur yang terdiri dari unsur-unsur bermakna dan bernilai estetika.” Melalui bahasanya, puisi dapat dikaji dari berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek stilistika.
Modal dasar kajian stilistika adalah pemahaman atas bahasa. Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa komunikasi sehari-hari.
Sehubungan dengan kajian aspek tersebut, penulis memilih Puisi “Ayah” karya Diah Ismani untuk dianalisis dari unsur stilistika.
2. Kajian Literatur
2.1 Pengertian Stilistika
“Stile (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam karya sastra atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan” (Abrams dalam Nurgiyantoro,2000:276). Sudjiman (1993:2) mengemukakan, “Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi (memanfaatkan) unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaan itu”, seterusnya Edraswara (2003:72) mengemukakan secara etimologi stylistics berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah cara pengucapan bahasa seorang pengarang dengan memanipulasi unsur dan kaidah bahasa yang digunakan untuk menampilkan gagasannya agar mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat mempengaruhi daya intelektual dan emosional pembaca.
2.2 Unsur Stilistika
Endraswara (2003:72) mengemukakan, gaya bahasa dlam stilistika mengandung enam pengertian. Yakni (a) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau penyertaan yang telah ada sebelumnya., (b) pilihan di antara beragam pernyataan yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif, (d) penyimpangan norma atau kaidah, (e) sekumpulan ciri pribadi, dan (f) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat. Nurgiyantoro (2000:289) mengemukakan, “Unsur stile adalah unsur yang mendukung terwujudnya bentuk lahir pengungkapan bahasa tersebut”. Kajian mengenai stilistika dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai aspek estetis dan unsur apa saja yang dominan. Abrams dalam Nurgiyantoro (2000:289) mengemukakan, “Unsur stile (Stylistic Features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya).
Menurut Abrams (1981:192), stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang bermaksud menggantikan kritik sastra yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti yang terlihat dalam struktur lahir . Dengan cara ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya.
Metode (teknik) analisis ini penting dilakukan karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda stilistika dalam sebuah karya sastra dapat berupa (a) fonologi, misalnya pola ucapan dan irama, (b) sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d) penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk permajasan, permainan struktur, pencitraan, dan sebagainya.
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis dengan deskripsi linguistik. Jadi dalam kajian ini dituntut kepekaan dan kesanggupan kita untuk menanggapi fungsi-fungsi estetis sebuah karya dan mengobservasi tanda-tanda linguistik yang mendukung. Selain itu stilistika terdiri atas unsur fonologi, sintaksis, leksikal, gramatikal, retorika (terdiri atas pemajasan, pencitraan, dan penyiasatan struktur), konteks, dan kohesi. Berikut ini akan diuraikan unsur stilistika, yang terdiri atas unsur leksikal dan retorika (terdiri atas pemajasan dan pencitraan)
2.3 Unsur Leksikal
Depdikbud (1989:510) mengemukakan, “Leksikal bersangkutan dengan kata, bersangkutan dengan kosakata”. Chaer (1995:60) mengatakan, “Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata”. “Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya fiksi dapat dilakukan berdasarkan jenis kata” (Nurgiyantoro, 2000:290).
Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya sastra secara umum dapat diidentifikasi kata-kata dengan pertanyaan sebagai berikut:
(1) Kata yang digunakan sederhana atau kompleks?
(2) Kata dan ungkapan formal atau kolokial, artinya kata-kata baku-bentuk dan makna-ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk penggunaan dialek?
(3) Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam karya fiksi Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya Jawa dan asing?
(4) Bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk, apakah bersifat referensial ataukah asosiatif, denotasi ataukah konotasi?
Identifikasi berikutnya adalah berdasarkan jenis kata, dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
(1) Apakah jenis kata yang dipergunakan? (pertanyaan berikutnya sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan)
(2) Kata benda, sederhana ataukah kompleks, abstrak ataukah konkret? Jika abstrak menyaran pada makna apa, kejadian, persepsi, proses, kualitas moral, atau social? Jika konkret menunjuk pada apa, misalnya benda, makhluk, ataukah manusia?
(3) Kata kerja, sederhana ataukah kompleks, transitif ataukah intransitif, makna menyaran pada pernyataan, tindakan, ataukah peristiwa, atau yang lain?
(4) Kata sifat, untuk menjelaskan apa, misalnya sesuatu bersifat fisik, psikis, visual, auditif, referensial, emotif, ataukah evaluatif?
(5) Kata bilangan, tentu ataukah tak tentu, dan untuk menjelaskan apa?
(6) Kata tugas, apa wujudnya, misalnya: dan, atau, lalu, kemudian, pada, tentang, yang sering dikelompokkan ke dalam konjungsi dan preposisi.
2.4 Unsur Sarana Retorika
Nurgiyantoro (2000:295) mengatakan, “Retorika adalah suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis”. Retorika meliputi pemajasan dan pencitraan. Namun dalam makalah ini hanya dibatasi pada unsur pemajasan
2.4.1 Pemajasan
Tarigan (1993:112) mengatakan, “Majas, kiasan, atau ‘figure of speech’ adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum”. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa majas adalah cara pengungkapan bahasa dengan pola tertentu serta dengan menggunakan bahasa kias; bahasa yang indah untuk meninggikan serta meningkatkan efek bahasa tersebut bagi pembaca.
2.4.2 Pembagian Majas
“Majas yang beraneka ragam itu dapat dikelompok-kelompokkan dengan berbagai cara tergantung dari cara memandangnya” (Tarigan, 1993:114). Menurutnya, majas dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan.
Untuk melakukan analisis terhadap penggunaan bahasa kias ini, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) Bentuk pemajasan apa sajakah yang terdapat dalam karya puisi itu, bagaimanakah wujud masing-masing, bentuk pemajasan apakah yang dominan? (2) Apakah penggunaan bentuk pemajasan itu tepat, atau bagaimanakah fungsi bentuk-bentuk itu untuk mencapai efek estetis, apakah koherensif dengan bentuk-bentuk pengungkapan yang lain? (3) Apakah penggunaan bentuk pemajasan itu dapat memberikan kemungkinan berbagai asosiasi makna? Dan sebagainya.
3. Pembahasan
3.1 Analisis Unsur Leksikal
Berikut ini akan diuraikan unsur-unsur stilistika yang meliputi unsur leksikal dalam Puisi ”Ayah” karya Diah Ismani.
Ayah
Karya Diah Ismani
Ayah...
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetapkau paksakan untuk bekerja
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
Aku tahu ayah....
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Aku tekun belajar menuju cita-cita
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
(Diah Ismani dalam Effendi,dkk, 2001:416)
3.1.1 Analisis Leksikal Bait I
Ayah...
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetap kau paksakan untuk bekerja
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
Unsur leksikal yang terdapat dalam bait pertama sajak “Ayah ” karya Diah Ismani tergolong kata benda, seperti ayah, tulang-tulangmu, keluarga, anakmu. Kata kerja, seperti paksakan, bekerja, mencari. Juga kata ganti, ayah, -mu pada kata tulang-tulang, kau, -mu pada kata kata anakmu. Kata penghubung, yang, guna dan untuk. Kata keterangan, telah dan tetap. Dalam bait ini juga ditemukan kata sifat seperti tua, masa depan. Kata bilangan, semua.
Pada bait pertama tersebut, pengarang memilih kata-kata dengan mempertimbangkan nilai rasa sehingga dapat menimbulkan daya imajinasi bagi pembaca. Bait ini dibuka dengan kata ayah. Kata tulang-tulangmu diperjelas dengan keterangan yang telah tua. Ini dimaksudkan bahwa tulang-tulang itu telah berumur sama seperti usia ayah.
Kata tulang dipilih mengacu pada maknanya. Ada ungkapan, makan tulang, membanting tulang. Semuanya mengacu pada konsep bekerja. Akan berbeda kalau pengarang memilih bagian tubuh manusia untuk digunakan pada puisi tersebut. Daging, misalnya. Atau rambut, pun kulit. Daging, kalau sudah tua biasanya lembek. Rambut, sudah tua memuith atau berubah warnanya. Kulit, kalau sudah tua, keriput tak kencang lagi. Tulang, kalau sudah tua, tak kuat lagi.
Lalu, baris tersebut diperjelas dengan didahului kata penghubung yang bermakna mempertentangkan, tetap. Meskipun tulang itu telah tua, tetap kau paksakan untuk bekerja. Penggunaan dua kata kerja paksakan dan bekerja memberi penekanan bahwa ada suatu aktivitas yang tak sedikit. Ini semua berkaitan dengan pemilihan kata tulang pada baris sebelumnya. Tulang memang identik dengan bekerja. Tulang yang tua, kemampuannya tak kuat lagi. Meski tak kuat lagi, ternyata masih dipaksakan.... Bayangkan kalau pengarang memilih bagian tubuh lainya, misalnya rambut. Rambut, lebih tepat kepada penampilan fisik. Sudah tak gagah lagi kalau sudah tua karena rambutnya telah memutih. Tak ganteng lagi, karena rambutnya telah memutih. Makanya banyak orang menyemir atau mengecat rambutnya ketika telah beruban..
Baris berikutnya memperjelas tujuan aktivitas pada baris sebelumnya. Pengarang mencoba menyambungkan kalimat tersebut menggunakan kata penghubung, guna. Maksud yang dilakukan pada baris sebelumnya itu gunanya disebutkan pada baris itu. Yakni mencari nafkah keluarga. Di sini ada kata kerja mencari yang diikuti frasa nafkah keluarga. Frasa ini terbentuk dari kata benda + kata benda. Nafkah itu diartikan kebutuhan hidup, uang pendapatan dari hasil bekerja, rezeki, bekal hidup sehari-hari. Itu semua dimaksudkan keluarga. Keluarga, dalam arti luas biasanya terdiri dari istri, anak, dan anggota keluarga yang lain. Dalam kamus, artinya orang-orang yang menjadi penghuni rumah, seisi rumah, bapak beserta ibu dan anak-anaknya. Artinya, yang dicari ayah adalah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sekeluarga. Makna keluarga ini kemudian dipersempit pada baris berikutnya. Bahwa, dia melakukan itu untuk anak. Maksudnya, ibu atau istrinya memang merupakan mitranya dalam mencari dan mengatur nafkah yang didapat. Pengguna sesungguhnya adalah sang anak.
Begitupun baris terakhir, didahului kata penghubung untuk dimaksudkan memperjelas bahwa semua yang disebutkan pada baris-baris sebelumnya dilakukan untuk yang disebutkan pada baris ini. Yakni masa depan anakmu semua. Tujuannya sesungguhnya adalah anakmu. Supaya lebih bermakna, ditambahkan lah kata masa depan sebelum kata itu. Eksplisit tujuan memaksakan tulangnya yang tua bekerja itu untuk masa depan anak. Tetapi yang implisit di sini bukan sekadar masa depan, tetapi juga masa sekarang dan masa nanti. Kalau anaknya bahagia sekarang tentu kedepannya diharapkan juga bahagia. Bahagia di dunia, tentu diharapkan di akhiratnya juga mendapat ridho Tuhan. Bahagia sekarang bisa didapat kalau kebutuhannya terpenuhi. Kebutuhan rohani, jasmani. Kemudian baris ini ditambah kata bilangan semua. Artinya, sekalian, segala, semuanya. Semua ini bisa semua yang termaktub dalam pengertian masa depan, bisa juga seluruh anak-anaknya.
Penyimpangan kaidah di sini, masa depan anakmu semua. Biasanya dalam bahasa Indonesia dikenal urutan kata. Semua mata. Seluruh harta. Sebagian mobil itu hancur. ...anakmu semua akan berbeda kalau menggunakan pola yang semestinya. ....semua anakmu. Hanya satu makna. Tetapi ....anakmu semua, bisa anakmu yang semuanya. Bisa sesuatu yang disebutkan sebelum kata anakmu itu.
Penggunaan kata ganti, -mu pada kata tulang-tulangmu, kau, dan mu- pada kata anakmu, mengacu kepada satu kata terdahulu, ayah. Jadi, tulang-tulangmu adalah tulang-tulang ayah. Lalu kau paksakan, ayah paksakan. Dan anakmu, maksudnya anak ayah. Kata ganti pada bait ini jelas mengacu pada satu subjek yang pertama disebutkan, ayah. Alih-alih menggunakan kata ayah, tentu akan lebih bervariasi menggunakan kata ganti.
Penggunaan kata penghubung dimaksudkan memperjelas kohesi dan koherensi. Baik dalam kalimat maupun antarbaris. Kata penghubung yang dipergunakan menjelaskan tulang-tulang. Akan berbeda kalau tanpa kata penghubung pada baris ini. Tulang-tulangmu telah tua. Dengan adanya kata penghubung yang berarti kedudukan tulang-tulangmu dengan yang telah telah tua sama. Bisa saling menggantikan. Selain itu ada semacam upaya memperjelas tulang-tulang itu, untuk kemudian berhubungan dengan bait berikutnya. Hubungan itu semakin jelas dengan adanya kata penghubung yang tersebut. Tulang-tulang yang mana? Tulang-tulang di dalam tubuh yang umurnya telah tua. Mengapa tulang-tulang yang telah tua itu?
Meski sudah tua, tetap kau paksakan..... Perbandingan yang dimaksud dengan penggunaan kata penghubung tetap, menjadi semakin jelas. Artinya, tulang-tulang tetap kau paksakan.... Jadi baris tulang-tulang yang telah tua bisa diwakili tulang-tulang saja.
Kata penghubung kembali dipergunakan pengarang untuk memperjelas hubungan. Sehingga baris demi baris akan menjadi memiliki keterkaitan. Guna mencari... . Guna merupakan kata penghubung yang menjelaskan hubungan tujuan atau manfaat. Artinya, yang disampaikan pada baris sebelumnya itu tujuan atau manfaatnya adalah seperti dijelaskan pada baris tersebut. Baik tersirat maupun tersirat. Guna mencari nafkah keluarga.
Baris terakhir bait pertama juga begitu, didahului kata penghubung untuk. Yang sebenarnya sama maknanya dengan guna. Ini alih-alih penggunaan kata penghubung dan untuk membedakan saja. Semua yang disampaikan pada baris-baris di atas, tujuannya adalah untuk ....... Atau bisa juga diartikan bahwa sang ayah memaksakan tulangnya bekerja ..... tujuannya disebutkan pada baris keempat dan kelima tersebut.
Pilihan kata semua di akhir baris, dimaksudkan untuk menjaga rima atau persajakan. Selain artinya menjadi lebih luas dan bisa diinterpretasikan, persajakannya menjadi aaaa. Kalau memilih pola semua anakmu, maka persajakannya menjadi tidak terjaga.
3.1.2 Analisis Leksikal Bait II
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
Pada bait ini, ditemukan kata benda, seperti hari, hatimu
Kata kerja, berangkat, pulang, kerja, tahu, terbalut (kata kerja pasif).
Kata keterangan, selalu. Kata sifat, gembira, dalam dan derita. Kata ganti, kau, aku, itu, -mu pada kata hatimu. Kata bilangan, tiap, semua, seribu. Kata sambung (konjungsi) dan, namun. Serta kata depan: di.
Bait ini di mulai dengan kata bilangan tiap yang merupakan kata bilangan tak tentu. Artinya dalam bilangan yang jelasnya tak tentu kau yang mengacu kepada ayah selalu gembira. Mungkin seribu hari atau lebih bahkan bisa juga kurang dari itu, ayah
senantiasa, sepanjang hari atau berlangsung tiada henti senang, bahagia, sukaria.
Memang terkesan berlebihan yang ditulis pengarang pada kalimat ini, seakan sang ayah dalam hari-hari yang dilalui senantiasa bahagia dan sukaria. Padahal, pasti saja ada waktu hari-hari atau waktu yang tidak bahagia. Dirudung masalah ataupun harus bersedih. Namun penggambaran berlebihan itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya sosok sang ayah di mata anaknya.
Dilanjutkan pada baris berikutnya, dalam berangkat dan pulang kerja. Ini merupakan jawaban kapan sang ayah selalu sukaria dan bahagia. Yakni dalam berangkat dan pulang kerja. Ketika berangkat, kata kerja yang berarti mulai pergi. Pilihan kata berangkat dirasa lebih tepat tinimbang pergi meskipun mengacu arti yang sama.
Kondisi bahagia saat berangkat dan pulang kerja, sesungguhnya adalah kesan yang digambarkan ayah kepada keluarganya. Dua baris berikutnya dalam bait ini berusaha menggambarkan kondisi tersebut: Namun aku tahu di balik itu semua, Hatimu terbalut seribu derita.
Baris ketiga dibuka oleh kata penghubung namun yang bermakna mempertentangkan. Bahwa di balik, maksudnya ada yang disembunyikan. Biasanya kalau menyembunyikan sesuatu dilakukan dengan menyimpannya di belakang atau di bawah benda lainnya. Disebut dengan dibalik. Itu merupakan kata ganti penunjuk yang mengacu pada suasana gembira ayah. Semua kegembiraan yang diperlihatkan ayah saat berangkat dan pulang kerja diwakili kata itu semua. Pengarang tidak menggunakan pola semua itu. Ini dimaksudkan untuk menjaga persamaan bunyi di akhir baris. Agar baris ini berakhir dengan bunyi a pada kata semua. Kalau dia memilih kata semua itu, maka rima/persajakannya tidak terjaga.
Baris terakhir, Hatimu terbalut seribu derita. Hati, kata benda dipergunakan karena mengacu kepada sesuatu yang dimiliki manusia yang biasanya merupakan tempat menyimpan rahasia. Kalau ingin menyembunyikan sesuatu tentu yang paling tepat adalah hati. Bukan mata, jantung, usus atau bagian tubuh lainnya. Dalamnya lautan bisa diukur, dalam hati siapa yang tahu. Memang ada koherensi dari baris sebelumnya. Terbalut, berasal dari kata benda balut yang artinya kain perban untuk membalut luka. Mendapat awalan ter- menjadi terbalut berubah menjadi kata kerja pasip. Tak dibalut saja sukar mengetahui isi hati, apalagi dibalut lilitan kain perban. Bisa dibayangkan bagaimana sang ayah menyembunyikan seribu duka yang pasti ada. Seribu adalah kata bilangan yang artinya ribuan. Duka adalah sedih, gundah hati. Seribu duka bukan berarti, jumlahnya seribu. Tetapi jumlahnya sangat banyak. Biasanyanya memang untuk menyatakan jumlah banyak tak tentu, menggunakan kata bilangan seribu. Ingat, ada dongeng dari kota seribun satu malam. Bukan sejuta atau semilyar yang digunakan.
3.1.3 Analisis Leksikal Bait III
Aku tahu ayah....
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Aku tekun belajar menuju cita-cita
Pada bait ini, ditemukan kata benda, seperti hari, keadaan, hatimu, cita-cita. Kata kerja, tahu, belajar, tak menyesal, menuju. Kata keterangan, karenanya, sangat, pendorongnya, itulah. Kata sifat, sederhana dan tekun. Kata ganti, aku, ayah, kita, aku. Kata sambung (konjungsi) yang, justru, tapi,
Untuk menjaga koherensi dengan bait-bait sebelumnya, bait ini dimbuka dengan aku tahu ayah.. (lihat dua bait sebelumya) bagaimana anak telah mengetahui ayahnya. Selain itu, dimaksudkan juga menggambarkan kondisi keluarganya seperti dijelaskan pada baris berikutnya. Keadaan kita yang sangat sederhana. Keadaan adalah kata benda yang berarti hal tentang sesuatu benda, suasana, situasi yang berkembang. Makanya, kata berikutnya adalah kata ganti kita. Yang sesungguhnya mengacu pada benda. Artinya bagaimana kondisi kita, anak dan ayah atau keluarga tersebut. Bagaimana kondisinya, sederhana. Artinya, sedang dalam arti pertengahan; tidak tinggi dan tidak rendah dan sebagainya, bersahaja, tidak berlebih-lebihan. Kondisi ini diperjelas dengan kata keterangan sangat yang berarti berlebih-lebih, sungguh-sungguh, benar-benar. Sederhana saja, berarti bersahaja. Sangat sederhana berarti sangat bersahaja. Cukup sekadar makan dan bekal hidup.
Baris kedua dibuka dengan kata penghubung tapi yang berfungsi membuat pertentangan. Maksudnya, kondisi sederhana yang digambarkan pada baris kedua tak membuat anak menolaknya. Kata ganti aku yang mengacu pada anak mengandung arti bahwa yang tak menyesal karenanya adalah anak. Karenanya, yang menutup baris ini berakhir dengan persajakan a. Sehingga rima bait ini terjada. Kalaupun pengarang menggunakan kata karena, rima tetap sama. Tetapi dengan penambahan kata ganti-nya, yang mengacu pada kondisi pada baris sebelumnya, baris ini menjadi jelas. Secara eksplisit, kondisi sederhana tak membuat anak menjadi menyesal.
Tetapi bagi sang anak, kondisi yang ada itu dijadikannya sebagai pendorong. Bukan menjadi halangan. Digambarkan pada baris berikutnya, Justru itulah yang menjadi pendorongnya.
Kata penghubung justru yang memiliki fungsi mempertentangkan. Kondisi yang sangat sederhana --diwakili kata penunjuk itu yang mendapat partikel lah yang berfungsi memberi penakanan itulah-- yang bagi orang lain menjadi kendala bagi sang anak menjadi pendorong atau motivasi. Kata pendorongnya, -nya pada kata ini berkolokasi pada sesuatu yang membuat jadi pendorong. Kondisi yang termaktub pada itulah yang dimaksud –nya. Yang kemudian –nya tersebut juga mengacu pada yang tersebut di baris berikutnya, Aku tekun belajar menuju cita-cita. Selain itu, kata ganti -nya pada kata pendorongnya juga dipilih pengarang untuk menjaga rima pada akhir setiap baris. Sehingga rima pada bait ini juga bersajak aaaa. Kalau tidak ada –nya maka, rimanya menjadi lain.
Baris terakhir, terdiri dari kata ganti aku, kata sifat tekun, dan diikuti kata kerja belajar. Lalu kata kerja menuju dan diakhir kata benda cita-cita. Aku dipilih bukan sekadar mengacu pada seorang, melainkan semua anak sang ayah. Dengan kondisi sangat sederhana, tak mengurangi belajar dengan tekun. Tekun dalam kamus diartikan dengan rajin, keras hati dan bersungguh-sungguh. Tentu kata ini lebih baik dibanding menggunakan kata rajin. Dengan tekun belajar, diharapkan bisa mencapai tujuan belajar, dimaksudkan belajar sebagai usaha untuk memperoleh ilmu atau keterampilan. Sehingga dengan ilmu itu bisa mencapai keinginan atau angan-angan, yang diwakili kata cita-cita. Kalau menggunakan angan-angan atau keinginan, rima atau persajakan juga tidak terjaga.
3.1.4 Analisis Leksikal Bait IV
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
Pada bait ini, ditemukan kata benda: alam semesta Kata kerja: mengatur, dianugerahi, mengatasi. Kata keterangan, mohon (meminta dengan hormat). Kata sifat: sabar, tawakal, duka nestapa. Kata ganti, aku, ayah, kita, aku, Nya pada kepadaNya, dan tawakalNya. Kata sambung (konjungsi) Hanya, yang, dan, untuk. Kata depan: kepada
Bait keempat di buka dengan kata penghubung Hanya. Ini dimaksudkan menjaga koherensi dengan bait sebelumya. Atas semua yang telah dipaparkan pada bait-bait sebelumnya, tak ada yang bisa diberikan sebagai ucapan terima kasih atau balasan lainnya. Kecuali kumohon kepada-Nya. Permintaan dengan hormat, biasanya diwakili dengan kata mohon. Kepada Tuhan, yang diwakilnya kata ganti-Nya pada kata depan kepada, menggambarkan kepada Tuhan.
Baris berikutnya menjelaskan siapa Tuhan itu. Agar ada hubungan, baris kedua dimulai dengan kata penghubung yang. Baris ini menjelaskan tentang –Nya. Yakni Pengatur alam semesta. Pilihan alam semesta dianggap tepat karena berhasil menjaga rima di akhir baris.
Apa yang dimohonkan kepada Tuhan, dijelaskan pada baris ketiga agar ayah dianugrahi sabar dan tawakal-Nya. ....terbalut seribu derita, tentu memerlukan kesabaran dan tawakal. Kata sifat sabar dalam kamus diartikan tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati) cukup mewakili sifat yang bisa digunakan menghadapi seribu derita yang disembunyikan. Permohonan itu menjadi lebih lengkap dengan sifat tawakal, kata kerja yang berati berserah kepada kehendak Tuhan dengan segenap hati percaya kepada Tuhan dalam penderitaan, percobaan, dan sebagainya. Kalau ini dianugrahkan Tuhan kepada ayah, tentu menjadikan ayah bisa menghadapi semua. Urutan sabar dan tawakal, sesungguhnya hanya mana suka saja. Kedua kata ini sesungguhnya, bisa merusak rima, yang manapun digunakan di akhir baris. Karenanya, pengarang menambahkan kata ganti –Nya pada kata terakhir. Menjadi tawakal-Nya. Ini juga dimaksudkan agar sabar dan tawakal yang dimiliki Tuhan bisa dikabulkan dan dianugrahkan kepada ayah.
Semua itu dimaksudkan dan dijelaskan pada baris terakhir puisi ini, Untuk mengatasi duka nestapa. Kata penghubung untuk dipilih agar ada kaitan antara baris sebelumnya dengan baris ini. Dengan sabar dan tawakal yang dianugrahkan Tuhan, ayah diharapkan bisa mengatasi duka nestapa. Mengatasi berarti mengalahkan duka nestapa. Duka nestapa merupakan gabungan kata yang bermakna sedih sekali, sedih yang teramat mendalam. Yang pada bait-bait sebelumnya disembunyikan ayah dengan berbuat seolah selalu sukacita. Melalui tiap harinya dengan sukacita, seperti digambarkan pada bait kedua: Tiap hari kau selalu gembira, Dalam berangkat dan pulang kerja, Namun aku tahu di balik itu semua, Hatimu terbalut seribu derita.
3.2 Analisis Sarana Retorika
Beberapa majas yang terdapat dalam puisi “Ayah” Karya Diah Ismani dapat dilihat pada uraian berikut ini.
3.2.1 Sinekdoke
Majas sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani Synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam gaya bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk sebagian (totum pro parte) terdapat pada kutipan berikut:
Tulang-tulangmu yang telah tua
Pada kutipan tersebut pengarang membandingkan tulang-tulang itu sebagai gambaran orang tuanya. Tulang dianggap bisa mewakili orang tuanya secara keseluruhan. Dan dalam kehidupan, tulang memang biasa dipilih untuk menggambarkan sosok manusia berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan sesuatu.
Karenanya, tulang-tulang dianggap sosok ayah yang umurnya telah tua. Seiring usia yang makin tua, maka tulanngnya pun ikut tua dan kemampuannya berkurang.
3.2.2 Personifikasi
Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang memnggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Terdapat pada kutipan berikut:
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetapkau paksakan untuk bekerja
Pada kutipan tersebut, pengarang memberi kesan bahwa benda-benda seperti tulang dapat dipaksa melakukan hal-hal seperti insan (manusia), misalnya bekerja. Pengarang juga ingin melukiskan adanya tekad yang kuat dalam seseorang memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
3.2.3 Antitesis
Sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
Terdapat pada kutipan berikut:
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Atau pada kutipan berikut:
...dalam berangkat dan pulang kerja.
3.2.4 Polisindeton
Gaya bahasa yang menggunakan beberapa kata, frasa atau klausa yang berurutn dihubugkan satu sama lain dengan kata sambung.
Pada puisi Ayah, majas ini dipergunakan pengarang pada kalimat berikut:
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
3.2.5 Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata denga fakta-fakta yang ada. (keraf (1985:136)
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
3.2.6 Hiperbola
Semacam gaya bahasa, yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Gaya bahasa ini didapati pada kalimat berikut:
Tiap hari kau selalu gembira
Juga pada kalimat berikut:
Hatimu terbalut seribu derita
Tiap hari kau selalu gembira, jelas dibuat dengan arti yang berlebihan. Apakah mungkin setiap hari yang dilalui ayahnya selalu sukaria. Dalam kalimat itu dapat diartikan tidak satu hari-hari yang telah dilalui tanpa kegembiraan. Terutama saat berangkat dan pulang kerja. Majas ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana ayahnya sangat berusaha menutupi kesusahan, kegalauan dari keluarganya, dari anak-anaknya.
Sementara pada kalimat. Hatimu terbalut seribu derita, menyatakan tidak sedikit derita yang menggelayut kehidupan. Apakah jumlahnya mencapai seribu. Ini memang terkesan digambarkan secara berlebihan.
3.2.7 Klimaks
Gaya bahasa ini diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya.
Kutipannya :
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
4. Simpulan
Pada Puisi ”Ayah”, pengarangnya Diah Ismani memilih dan menempatkan kata-kata dengan pertimbangan yang matang. Sehingga, secara leksikal kata-kata yang dipilih bisa menjelaskan alasan pemilihan tersebut. Apakah jenis katanya, penggunaan kata penghubung, kaitan kata dengan maknanya. Bait demi bait meluncur denga padu, begitu juga dari kata ke kata dan antar klausa ataupun antar kalimat, terkadang dipadu dengan kata penghubung yang memperjelas hubungan tersebut. Dan lebih dari itu, persajakan dari bait ke bait dan baris ke baris dari awal hingga akhir tetap terjaga. Puisi ini bersajak dengan pola aaaa.
Penggunaan majas pun dimanfaatkan dengan maksud-maksud tertentu. Sehingga, majas yang dipilih bisa mendukung penggambaran puisi tersebut.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Effendi, Anwar dkk. 2001. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Menikmati sebuah puisi, orang tidak sekadar mengapresiasi unsur kebahasaan yang terdiri atas serangkaian kata-kata yang indah, akan tetapi juga berhadapan dengan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang diucapkan oleh penyair.
Pada hakikatnya, puisi dibangun oleh dua unsur, yaitu struktur fisik berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin berupa struktur makna yang terkandung dalam pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur pokok itu merupakan kesatuan yang saling berjalin secara fungsional.
Penyair menulis puisi, menyusun baris-baris dan bait-bait menggunakan kata-kata, lambang-lambang, kiasan, dan sebagainya. Semua yang ditampilkan oleh penyair dalam puisi mempunyai makna-makna tertentu karena puisi merupakan ungkapan perasaan dan pikiran penyair.
Oleh karena itulah, puisi dapat dikaji melalui bahasanya. Pradopo (2000:3) mengungkapkan, “Puisi dapat dikaji bahasanya karena mempunyai struktur yang terdiri dari unsur-unsur bermakna dan bernilai estetika.” Melalui bahasanya, puisi dapat dikaji dari berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek stilistika.
Modal dasar kajian stilistika adalah pemahaman atas bahasa. Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa komunikasi sehari-hari.
Sehubungan dengan kajian aspek tersebut, penulis memilih Puisi “Ayah” karya Diah Ismani untuk dianalisis dari unsur stilistika.
2. Kajian Literatur
2.1 Pengertian Stilistika
“Stile (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam karya sastra atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan” (Abrams dalam Nurgiyantoro,2000:276). Sudjiman (1993:2) mengemukakan, “Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi (memanfaatkan) unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaan itu”, seterusnya Edraswara (2003:72) mengemukakan secara etimologi stylistics berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah cara pengucapan bahasa seorang pengarang dengan memanipulasi unsur dan kaidah bahasa yang digunakan untuk menampilkan gagasannya agar mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat mempengaruhi daya intelektual dan emosional pembaca.
2.2 Unsur Stilistika
Endraswara (2003:72) mengemukakan, gaya bahasa dlam stilistika mengandung enam pengertian. Yakni (a) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau penyertaan yang telah ada sebelumnya., (b) pilihan di antara beragam pernyataan yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif, (d) penyimpangan norma atau kaidah, (e) sekumpulan ciri pribadi, dan (f) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat. Nurgiyantoro (2000:289) mengemukakan, “Unsur stile adalah unsur yang mendukung terwujudnya bentuk lahir pengungkapan bahasa tersebut”. Kajian mengenai stilistika dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai aspek estetis dan unsur apa saja yang dominan. Abrams dalam Nurgiyantoro (2000:289) mengemukakan, “Unsur stile (Stylistic Features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya).
Menurut Abrams (1981:192), stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang bermaksud menggantikan kritik sastra yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti yang terlihat dalam struktur lahir . Dengan cara ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya.
Metode (teknik) analisis ini penting dilakukan karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda stilistika dalam sebuah karya sastra dapat berupa (a) fonologi, misalnya pola ucapan dan irama, (b) sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d) penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk permajasan, permainan struktur, pencitraan, dan sebagainya.
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis dengan deskripsi linguistik. Jadi dalam kajian ini dituntut kepekaan dan kesanggupan kita untuk menanggapi fungsi-fungsi estetis sebuah karya dan mengobservasi tanda-tanda linguistik yang mendukung. Selain itu stilistika terdiri atas unsur fonologi, sintaksis, leksikal, gramatikal, retorika (terdiri atas pemajasan, pencitraan, dan penyiasatan struktur), konteks, dan kohesi. Berikut ini akan diuraikan unsur stilistika, yang terdiri atas unsur leksikal dan retorika (terdiri atas pemajasan dan pencitraan)
2.3 Unsur Leksikal
Depdikbud (1989:510) mengemukakan, “Leksikal bersangkutan dengan kata, bersangkutan dengan kosakata”. Chaer (1995:60) mengatakan, “Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata”. “Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya fiksi dapat dilakukan berdasarkan jenis kata” (Nurgiyantoro, 2000:290).
Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya sastra secara umum dapat diidentifikasi kata-kata dengan pertanyaan sebagai berikut:
(1) Kata yang digunakan sederhana atau kompleks?
(2) Kata dan ungkapan formal atau kolokial, artinya kata-kata baku-bentuk dan makna-ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk penggunaan dialek?
(3) Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam karya fiksi Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya Jawa dan asing?
(4) Bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk, apakah bersifat referensial ataukah asosiatif, denotasi ataukah konotasi?
Identifikasi berikutnya adalah berdasarkan jenis kata, dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
(1) Apakah jenis kata yang dipergunakan? (pertanyaan berikutnya sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan)
(2) Kata benda, sederhana ataukah kompleks, abstrak ataukah konkret? Jika abstrak menyaran pada makna apa, kejadian, persepsi, proses, kualitas moral, atau social? Jika konkret menunjuk pada apa, misalnya benda, makhluk, ataukah manusia?
(3) Kata kerja, sederhana ataukah kompleks, transitif ataukah intransitif, makna menyaran pada pernyataan, tindakan, ataukah peristiwa, atau yang lain?
(4) Kata sifat, untuk menjelaskan apa, misalnya sesuatu bersifat fisik, psikis, visual, auditif, referensial, emotif, ataukah evaluatif?
(5) Kata bilangan, tentu ataukah tak tentu, dan untuk menjelaskan apa?
(6) Kata tugas, apa wujudnya, misalnya: dan, atau, lalu, kemudian, pada, tentang, yang sering dikelompokkan ke dalam konjungsi dan preposisi.
2.4 Unsur Sarana Retorika
Nurgiyantoro (2000:295) mengatakan, “Retorika adalah suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis”. Retorika meliputi pemajasan dan pencitraan. Namun dalam makalah ini hanya dibatasi pada unsur pemajasan
2.4.1 Pemajasan
Tarigan (1993:112) mengatakan, “Majas, kiasan, atau ‘figure of speech’ adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum”. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa majas adalah cara pengungkapan bahasa dengan pola tertentu serta dengan menggunakan bahasa kias; bahasa yang indah untuk meninggikan serta meningkatkan efek bahasa tersebut bagi pembaca.
2.4.2 Pembagian Majas
“Majas yang beraneka ragam itu dapat dikelompok-kelompokkan dengan berbagai cara tergantung dari cara memandangnya” (Tarigan, 1993:114). Menurutnya, majas dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan.
Untuk melakukan analisis terhadap penggunaan bahasa kias ini, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) Bentuk pemajasan apa sajakah yang terdapat dalam karya puisi itu, bagaimanakah wujud masing-masing, bentuk pemajasan apakah yang dominan? (2) Apakah penggunaan bentuk pemajasan itu tepat, atau bagaimanakah fungsi bentuk-bentuk itu untuk mencapai efek estetis, apakah koherensif dengan bentuk-bentuk pengungkapan yang lain? (3) Apakah penggunaan bentuk pemajasan itu dapat memberikan kemungkinan berbagai asosiasi makna? Dan sebagainya.
3. Pembahasan
3.1 Analisis Unsur Leksikal
Berikut ini akan diuraikan unsur-unsur stilistika yang meliputi unsur leksikal dalam Puisi ”Ayah” karya Diah Ismani.
Ayah
Karya Diah Ismani
Ayah...
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetapkau paksakan untuk bekerja
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
Aku tahu ayah....
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Aku tekun belajar menuju cita-cita
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
(Diah Ismani dalam Effendi,dkk, 2001:416)
3.1.1 Analisis Leksikal Bait I
Ayah...
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetap kau paksakan untuk bekerja
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
Unsur leksikal yang terdapat dalam bait pertama sajak “Ayah ” karya Diah Ismani tergolong kata benda, seperti ayah, tulang-tulangmu, keluarga, anakmu. Kata kerja, seperti paksakan, bekerja, mencari. Juga kata ganti, ayah, -mu pada kata tulang-tulang, kau, -mu pada kata kata anakmu. Kata penghubung, yang, guna dan untuk. Kata keterangan, telah dan tetap. Dalam bait ini juga ditemukan kata sifat seperti tua, masa depan. Kata bilangan, semua.
Pada bait pertama tersebut, pengarang memilih kata-kata dengan mempertimbangkan nilai rasa sehingga dapat menimbulkan daya imajinasi bagi pembaca. Bait ini dibuka dengan kata ayah. Kata tulang-tulangmu diperjelas dengan keterangan yang telah tua. Ini dimaksudkan bahwa tulang-tulang itu telah berumur sama seperti usia ayah.
Kata tulang dipilih mengacu pada maknanya. Ada ungkapan, makan tulang, membanting tulang. Semuanya mengacu pada konsep bekerja. Akan berbeda kalau pengarang memilih bagian tubuh manusia untuk digunakan pada puisi tersebut. Daging, misalnya. Atau rambut, pun kulit. Daging, kalau sudah tua biasanya lembek. Rambut, sudah tua memuith atau berubah warnanya. Kulit, kalau sudah tua, keriput tak kencang lagi. Tulang, kalau sudah tua, tak kuat lagi.
Lalu, baris tersebut diperjelas dengan didahului kata penghubung yang bermakna mempertentangkan, tetap. Meskipun tulang itu telah tua, tetap kau paksakan untuk bekerja. Penggunaan dua kata kerja paksakan dan bekerja memberi penekanan bahwa ada suatu aktivitas yang tak sedikit. Ini semua berkaitan dengan pemilihan kata tulang pada baris sebelumnya. Tulang memang identik dengan bekerja. Tulang yang tua, kemampuannya tak kuat lagi. Meski tak kuat lagi, ternyata masih dipaksakan.... Bayangkan kalau pengarang memilih bagian tubuh lainya, misalnya rambut. Rambut, lebih tepat kepada penampilan fisik. Sudah tak gagah lagi kalau sudah tua karena rambutnya telah memutih. Tak ganteng lagi, karena rambutnya telah memutih. Makanya banyak orang menyemir atau mengecat rambutnya ketika telah beruban..
Baris berikutnya memperjelas tujuan aktivitas pada baris sebelumnya. Pengarang mencoba menyambungkan kalimat tersebut menggunakan kata penghubung, guna. Maksud yang dilakukan pada baris sebelumnya itu gunanya disebutkan pada baris itu. Yakni mencari nafkah keluarga. Di sini ada kata kerja mencari yang diikuti frasa nafkah keluarga. Frasa ini terbentuk dari kata benda + kata benda. Nafkah itu diartikan kebutuhan hidup, uang pendapatan dari hasil bekerja, rezeki, bekal hidup sehari-hari. Itu semua dimaksudkan keluarga. Keluarga, dalam arti luas biasanya terdiri dari istri, anak, dan anggota keluarga yang lain. Dalam kamus, artinya orang-orang yang menjadi penghuni rumah, seisi rumah, bapak beserta ibu dan anak-anaknya. Artinya, yang dicari ayah adalah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sekeluarga. Makna keluarga ini kemudian dipersempit pada baris berikutnya. Bahwa, dia melakukan itu untuk anak. Maksudnya, ibu atau istrinya memang merupakan mitranya dalam mencari dan mengatur nafkah yang didapat. Pengguna sesungguhnya adalah sang anak.
Begitupun baris terakhir, didahului kata penghubung untuk dimaksudkan memperjelas bahwa semua yang disebutkan pada baris-baris sebelumnya dilakukan untuk yang disebutkan pada baris ini. Yakni masa depan anakmu semua. Tujuannya sesungguhnya adalah anakmu. Supaya lebih bermakna, ditambahkan lah kata masa depan sebelum kata itu. Eksplisit tujuan memaksakan tulangnya yang tua bekerja itu untuk masa depan anak. Tetapi yang implisit di sini bukan sekadar masa depan, tetapi juga masa sekarang dan masa nanti. Kalau anaknya bahagia sekarang tentu kedepannya diharapkan juga bahagia. Bahagia di dunia, tentu diharapkan di akhiratnya juga mendapat ridho Tuhan. Bahagia sekarang bisa didapat kalau kebutuhannya terpenuhi. Kebutuhan rohani, jasmani. Kemudian baris ini ditambah kata bilangan semua. Artinya, sekalian, segala, semuanya. Semua ini bisa semua yang termaktub dalam pengertian masa depan, bisa juga seluruh anak-anaknya.
Penyimpangan kaidah di sini, masa depan anakmu semua. Biasanya dalam bahasa Indonesia dikenal urutan kata. Semua mata. Seluruh harta. Sebagian mobil itu hancur. ...anakmu semua akan berbeda kalau menggunakan pola yang semestinya. ....semua anakmu. Hanya satu makna. Tetapi ....anakmu semua, bisa anakmu yang semuanya. Bisa sesuatu yang disebutkan sebelum kata anakmu itu.
Penggunaan kata ganti, -mu pada kata tulang-tulangmu, kau, dan mu- pada kata anakmu, mengacu kepada satu kata terdahulu, ayah. Jadi, tulang-tulangmu adalah tulang-tulang ayah. Lalu kau paksakan, ayah paksakan. Dan anakmu, maksudnya anak ayah. Kata ganti pada bait ini jelas mengacu pada satu subjek yang pertama disebutkan, ayah. Alih-alih menggunakan kata ayah, tentu akan lebih bervariasi menggunakan kata ganti.
Penggunaan kata penghubung dimaksudkan memperjelas kohesi dan koherensi. Baik dalam kalimat maupun antarbaris. Kata penghubung yang dipergunakan menjelaskan tulang-tulang. Akan berbeda kalau tanpa kata penghubung pada baris ini. Tulang-tulangmu telah tua. Dengan adanya kata penghubung yang berarti kedudukan tulang-tulangmu dengan yang telah telah tua sama. Bisa saling menggantikan. Selain itu ada semacam upaya memperjelas tulang-tulang itu, untuk kemudian berhubungan dengan bait berikutnya. Hubungan itu semakin jelas dengan adanya kata penghubung yang tersebut. Tulang-tulang yang mana? Tulang-tulang di dalam tubuh yang umurnya telah tua. Mengapa tulang-tulang yang telah tua itu?
Meski sudah tua, tetap kau paksakan..... Perbandingan yang dimaksud dengan penggunaan kata penghubung tetap, menjadi semakin jelas. Artinya, tulang-tulang tetap kau paksakan.... Jadi baris tulang-tulang yang telah tua bisa diwakili tulang-tulang saja.
Kata penghubung kembali dipergunakan pengarang untuk memperjelas hubungan. Sehingga baris demi baris akan menjadi memiliki keterkaitan. Guna mencari... . Guna merupakan kata penghubung yang menjelaskan hubungan tujuan atau manfaat. Artinya, yang disampaikan pada baris sebelumnya itu tujuan atau manfaatnya adalah seperti dijelaskan pada baris tersebut. Baik tersirat maupun tersirat. Guna mencari nafkah keluarga.
Baris terakhir bait pertama juga begitu, didahului kata penghubung untuk. Yang sebenarnya sama maknanya dengan guna. Ini alih-alih penggunaan kata penghubung dan untuk membedakan saja. Semua yang disampaikan pada baris-baris di atas, tujuannya adalah untuk ....... Atau bisa juga diartikan bahwa sang ayah memaksakan tulangnya bekerja ..... tujuannya disebutkan pada baris keempat dan kelima tersebut.
Pilihan kata semua di akhir baris, dimaksudkan untuk menjaga rima atau persajakan. Selain artinya menjadi lebih luas dan bisa diinterpretasikan, persajakannya menjadi aaaa. Kalau memilih pola semua anakmu, maka persajakannya menjadi tidak terjaga.
3.1.2 Analisis Leksikal Bait II
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
Pada bait ini, ditemukan kata benda, seperti hari, hatimu
Kata kerja, berangkat, pulang, kerja, tahu, terbalut (kata kerja pasif).
Kata keterangan, selalu. Kata sifat, gembira, dalam dan derita. Kata ganti, kau, aku, itu, -mu pada kata hatimu. Kata bilangan, tiap, semua, seribu. Kata sambung (konjungsi) dan, namun. Serta kata depan: di.
Bait ini di mulai dengan kata bilangan tiap yang merupakan kata bilangan tak tentu. Artinya dalam bilangan yang jelasnya tak tentu kau yang mengacu kepada ayah selalu gembira. Mungkin seribu hari atau lebih bahkan bisa juga kurang dari itu, ayah
senantiasa, sepanjang hari atau berlangsung tiada henti senang, bahagia, sukaria.
Memang terkesan berlebihan yang ditulis pengarang pada kalimat ini, seakan sang ayah dalam hari-hari yang dilalui senantiasa bahagia dan sukaria. Padahal, pasti saja ada waktu hari-hari atau waktu yang tidak bahagia. Dirudung masalah ataupun harus bersedih. Namun penggambaran berlebihan itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya sosok sang ayah di mata anaknya.
Dilanjutkan pada baris berikutnya, dalam berangkat dan pulang kerja. Ini merupakan jawaban kapan sang ayah selalu sukaria dan bahagia. Yakni dalam berangkat dan pulang kerja. Ketika berangkat, kata kerja yang berarti mulai pergi. Pilihan kata berangkat dirasa lebih tepat tinimbang pergi meskipun mengacu arti yang sama.
Kondisi bahagia saat berangkat dan pulang kerja, sesungguhnya adalah kesan yang digambarkan ayah kepada keluarganya. Dua baris berikutnya dalam bait ini berusaha menggambarkan kondisi tersebut: Namun aku tahu di balik itu semua, Hatimu terbalut seribu derita.
Baris ketiga dibuka oleh kata penghubung namun yang bermakna mempertentangkan. Bahwa di balik, maksudnya ada yang disembunyikan. Biasanya kalau menyembunyikan sesuatu dilakukan dengan menyimpannya di belakang atau di bawah benda lainnya. Disebut dengan dibalik. Itu merupakan kata ganti penunjuk yang mengacu pada suasana gembira ayah. Semua kegembiraan yang diperlihatkan ayah saat berangkat dan pulang kerja diwakili kata itu semua. Pengarang tidak menggunakan pola semua itu. Ini dimaksudkan untuk menjaga persamaan bunyi di akhir baris. Agar baris ini berakhir dengan bunyi a pada kata semua. Kalau dia memilih kata semua itu, maka rima/persajakannya tidak terjaga.
Baris terakhir, Hatimu terbalut seribu derita. Hati, kata benda dipergunakan karena mengacu kepada sesuatu yang dimiliki manusia yang biasanya merupakan tempat menyimpan rahasia. Kalau ingin menyembunyikan sesuatu tentu yang paling tepat adalah hati. Bukan mata, jantung, usus atau bagian tubuh lainnya. Dalamnya lautan bisa diukur, dalam hati siapa yang tahu. Memang ada koherensi dari baris sebelumnya. Terbalut, berasal dari kata benda balut yang artinya kain perban untuk membalut luka. Mendapat awalan ter- menjadi terbalut berubah menjadi kata kerja pasip. Tak dibalut saja sukar mengetahui isi hati, apalagi dibalut lilitan kain perban. Bisa dibayangkan bagaimana sang ayah menyembunyikan seribu duka yang pasti ada. Seribu adalah kata bilangan yang artinya ribuan. Duka adalah sedih, gundah hati. Seribu duka bukan berarti, jumlahnya seribu. Tetapi jumlahnya sangat banyak. Biasanyanya memang untuk menyatakan jumlah banyak tak tentu, menggunakan kata bilangan seribu. Ingat, ada dongeng dari kota seribun satu malam. Bukan sejuta atau semilyar yang digunakan.
3.1.3 Analisis Leksikal Bait III
Aku tahu ayah....
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Aku tekun belajar menuju cita-cita
Pada bait ini, ditemukan kata benda, seperti hari, keadaan, hatimu, cita-cita. Kata kerja, tahu, belajar, tak menyesal, menuju. Kata keterangan, karenanya, sangat, pendorongnya, itulah. Kata sifat, sederhana dan tekun. Kata ganti, aku, ayah, kita, aku. Kata sambung (konjungsi) yang, justru, tapi,
Untuk menjaga koherensi dengan bait-bait sebelumnya, bait ini dimbuka dengan aku tahu ayah.. (lihat dua bait sebelumya) bagaimana anak telah mengetahui ayahnya. Selain itu, dimaksudkan juga menggambarkan kondisi keluarganya seperti dijelaskan pada baris berikutnya. Keadaan kita yang sangat sederhana. Keadaan adalah kata benda yang berarti hal tentang sesuatu benda, suasana, situasi yang berkembang. Makanya, kata berikutnya adalah kata ganti kita. Yang sesungguhnya mengacu pada benda. Artinya bagaimana kondisi kita, anak dan ayah atau keluarga tersebut. Bagaimana kondisinya, sederhana. Artinya, sedang dalam arti pertengahan; tidak tinggi dan tidak rendah dan sebagainya, bersahaja, tidak berlebih-lebihan. Kondisi ini diperjelas dengan kata keterangan sangat yang berarti berlebih-lebih, sungguh-sungguh, benar-benar. Sederhana saja, berarti bersahaja. Sangat sederhana berarti sangat bersahaja. Cukup sekadar makan dan bekal hidup.
Baris kedua dibuka dengan kata penghubung tapi yang berfungsi membuat pertentangan. Maksudnya, kondisi sederhana yang digambarkan pada baris kedua tak membuat anak menolaknya. Kata ganti aku yang mengacu pada anak mengandung arti bahwa yang tak menyesal karenanya adalah anak. Karenanya, yang menutup baris ini berakhir dengan persajakan a. Sehingga rima bait ini terjada. Kalaupun pengarang menggunakan kata karena, rima tetap sama. Tetapi dengan penambahan kata ganti-nya, yang mengacu pada kondisi pada baris sebelumnya, baris ini menjadi jelas. Secara eksplisit, kondisi sederhana tak membuat anak menjadi menyesal.
Tetapi bagi sang anak, kondisi yang ada itu dijadikannya sebagai pendorong. Bukan menjadi halangan. Digambarkan pada baris berikutnya, Justru itulah yang menjadi pendorongnya.
Kata penghubung justru yang memiliki fungsi mempertentangkan. Kondisi yang sangat sederhana --diwakili kata penunjuk itu yang mendapat partikel lah yang berfungsi memberi penakanan itulah-- yang bagi orang lain menjadi kendala bagi sang anak menjadi pendorong atau motivasi. Kata pendorongnya, -nya pada kata ini berkolokasi pada sesuatu yang membuat jadi pendorong. Kondisi yang termaktub pada itulah yang dimaksud –nya. Yang kemudian –nya tersebut juga mengacu pada yang tersebut di baris berikutnya, Aku tekun belajar menuju cita-cita. Selain itu, kata ganti -nya pada kata pendorongnya juga dipilih pengarang untuk menjaga rima pada akhir setiap baris. Sehingga rima pada bait ini juga bersajak aaaa. Kalau tidak ada –nya maka, rimanya menjadi lain.
Baris terakhir, terdiri dari kata ganti aku, kata sifat tekun, dan diikuti kata kerja belajar. Lalu kata kerja menuju dan diakhir kata benda cita-cita. Aku dipilih bukan sekadar mengacu pada seorang, melainkan semua anak sang ayah. Dengan kondisi sangat sederhana, tak mengurangi belajar dengan tekun. Tekun dalam kamus diartikan dengan rajin, keras hati dan bersungguh-sungguh. Tentu kata ini lebih baik dibanding menggunakan kata rajin. Dengan tekun belajar, diharapkan bisa mencapai tujuan belajar, dimaksudkan belajar sebagai usaha untuk memperoleh ilmu atau keterampilan. Sehingga dengan ilmu itu bisa mencapai keinginan atau angan-angan, yang diwakili kata cita-cita. Kalau menggunakan angan-angan atau keinginan, rima atau persajakan juga tidak terjaga.
3.1.4 Analisis Leksikal Bait IV
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
Pada bait ini, ditemukan kata benda: alam semesta Kata kerja: mengatur, dianugerahi, mengatasi. Kata keterangan, mohon (meminta dengan hormat). Kata sifat: sabar, tawakal, duka nestapa. Kata ganti, aku, ayah, kita, aku, Nya pada kepadaNya, dan tawakalNya. Kata sambung (konjungsi) Hanya, yang, dan, untuk. Kata depan: kepada
Bait keempat di buka dengan kata penghubung Hanya. Ini dimaksudkan menjaga koherensi dengan bait sebelumya. Atas semua yang telah dipaparkan pada bait-bait sebelumnya, tak ada yang bisa diberikan sebagai ucapan terima kasih atau balasan lainnya. Kecuali kumohon kepada-Nya. Permintaan dengan hormat, biasanya diwakili dengan kata mohon. Kepada Tuhan, yang diwakilnya kata ganti-Nya pada kata depan kepada, menggambarkan kepada Tuhan.
Baris berikutnya menjelaskan siapa Tuhan itu. Agar ada hubungan, baris kedua dimulai dengan kata penghubung yang. Baris ini menjelaskan tentang –Nya. Yakni Pengatur alam semesta. Pilihan alam semesta dianggap tepat karena berhasil menjaga rima di akhir baris.
Apa yang dimohonkan kepada Tuhan, dijelaskan pada baris ketiga agar ayah dianugrahi sabar dan tawakal-Nya. ....terbalut seribu derita, tentu memerlukan kesabaran dan tawakal. Kata sifat sabar dalam kamus diartikan tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati) cukup mewakili sifat yang bisa digunakan menghadapi seribu derita yang disembunyikan. Permohonan itu menjadi lebih lengkap dengan sifat tawakal, kata kerja yang berati berserah kepada kehendak Tuhan dengan segenap hati percaya kepada Tuhan dalam penderitaan, percobaan, dan sebagainya. Kalau ini dianugrahkan Tuhan kepada ayah, tentu menjadikan ayah bisa menghadapi semua. Urutan sabar dan tawakal, sesungguhnya hanya mana suka saja. Kedua kata ini sesungguhnya, bisa merusak rima, yang manapun digunakan di akhir baris. Karenanya, pengarang menambahkan kata ganti –Nya pada kata terakhir. Menjadi tawakal-Nya. Ini juga dimaksudkan agar sabar dan tawakal yang dimiliki Tuhan bisa dikabulkan dan dianugrahkan kepada ayah.
Semua itu dimaksudkan dan dijelaskan pada baris terakhir puisi ini, Untuk mengatasi duka nestapa. Kata penghubung untuk dipilih agar ada kaitan antara baris sebelumnya dengan baris ini. Dengan sabar dan tawakal yang dianugrahkan Tuhan, ayah diharapkan bisa mengatasi duka nestapa. Mengatasi berarti mengalahkan duka nestapa. Duka nestapa merupakan gabungan kata yang bermakna sedih sekali, sedih yang teramat mendalam. Yang pada bait-bait sebelumnya disembunyikan ayah dengan berbuat seolah selalu sukacita. Melalui tiap harinya dengan sukacita, seperti digambarkan pada bait kedua: Tiap hari kau selalu gembira, Dalam berangkat dan pulang kerja, Namun aku tahu di balik itu semua, Hatimu terbalut seribu derita.
3.2 Analisis Sarana Retorika
Beberapa majas yang terdapat dalam puisi “Ayah” Karya Diah Ismani dapat dilihat pada uraian berikut ini.
3.2.1 Sinekdoke
Majas sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani Synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam gaya bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk sebagian (totum pro parte) terdapat pada kutipan berikut:
Tulang-tulangmu yang telah tua
Pada kutipan tersebut pengarang membandingkan tulang-tulang itu sebagai gambaran orang tuanya. Tulang dianggap bisa mewakili orang tuanya secara keseluruhan. Dan dalam kehidupan, tulang memang biasa dipilih untuk menggambarkan sosok manusia berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan sesuatu.
Karenanya, tulang-tulang dianggap sosok ayah yang umurnya telah tua. Seiring usia yang makin tua, maka tulanngnya pun ikut tua dan kemampuannya berkurang.
3.2.2 Personifikasi
Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang memnggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Terdapat pada kutipan berikut:
Tulang-tulangmu yang telah tua
Tetapkau paksakan untuk bekerja
Pada kutipan tersebut, pengarang memberi kesan bahwa benda-benda seperti tulang dapat dipaksa melakukan hal-hal seperti insan (manusia), misalnya bekerja. Pengarang juga ingin melukiskan adanya tekad yang kuat dalam seseorang memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
3.2.3 Antitesis
Sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
Terdapat pada kutipan berikut:
Keadaan kita yang sangat sederhana
Tapi aku tak menyesal karenanya
Justru itulah yang menjadi pendorongnya
Atau pada kutipan berikut:
...dalam berangkat dan pulang kerja.
3.2.4 Polisindeton
Gaya bahasa yang menggunakan beberapa kata, frasa atau klausa yang berurutn dihubugkan satu sama lain dengan kata sambung.
Pada puisi Ayah, majas ini dipergunakan pengarang pada kalimat berikut:
Guna mencari nafkah keluarga
Untuk masa depan anakmu semua
3.2.5 Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata denga fakta-fakta yang ada. (keraf (1985:136)
Tiap hari kau selalu gembira
Dalam berangkat dan pulang kerja
Namun aku tahu di balik itu semua
Hatimu terbalut seribu derita
3.2.6 Hiperbola
Semacam gaya bahasa, yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Gaya bahasa ini didapati pada kalimat berikut:
Tiap hari kau selalu gembira
Juga pada kalimat berikut:
Hatimu terbalut seribu derita
Tiap hari kau selalu gembira, jelas dibuat dengan arti yang berlebihan. Apakah mungkin setiap hari yang dilalui ayahnya selalu sukaria. Dalam kalimat itu dapat diartikan tidak satu hari-hari yang telah dilalui tanpa kegembiraan. Terutama saat berangkat dan pulang kerja. Majas ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana ayahnya sangat berusaha menutupi kesusahan, kegalauan dari keluarganya, dari anak-anaknya.
Sementara pada kalimat. Hatimu terbalut seribu derita, menyatakan tidak sedikit derita yang menggelayut kehidupan. Apakah jumlahnya mencapai seribu. Ini memang terkesan digambarkan secara berlebihan.
3.2.7 Klimaks
Gaya bahasa ini diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya.
Kutipannya :
Hanya kumohon kepadaNya
Yang mengatur alam semesta
Ayah dianugrahi sabar dan tawakalNya
Untuk mengatasi duka nestapa
4. Simpulan
Pada Puisi ”Ayah”, pengarangnya Diah Ismani memilih dan menempatkan kata-kata dengan pertimbangan yang matang. Sehingga, secara leksikal kata-kata yang dipilih bisa menjelaskan alasan pemilihan tersebut. Apakah jenis katanya, penggunaan kata penghubung, kaitan kata dengan maknanya. Bait demi bait meluncur denga padu, begitu juga dari kata ke kata dan antar klausa ataupun antar kalimat, terkadang dipadu dengan kata penghubung yang memperjelas hubungan tersebut. Dan lebih dari itu, persajakan dari bait ke bait dan baris ke baris dari awal hingga akhir tetap terjaga. Puisi ini bersajak dengan pola aaaa.
Penggunaan majas pun dimanfaatkan dengan maksud-maksud tertentu. Sehingga, majas yang dipilih bisa mendukung penggambaran puisi tersebut.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Effendi, Anwar dkk. 2001. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Komentar
Posting Komentar
setelah berkunjung jangan lupa tinggalkan komentar..
Terima Kasih atas kunjungannya.. salam dari Ramlan & Ari